Rania, aku harus apa?
Nadin mengirim pesan itu dengan tangan gemetar. Tangisnya ia tahan mati-matian, malu pada janjinya untuk tidak menangis lagi.
Allah, Nadin harus apa?
Di atas sajadah, Nadin bersimpuh. Kini air matanya tak bisa ia bendung lagi.
Apa kabar hatinya?
Perkataan Rayhan terus terngiang di telinga. Ia kira, kata-kata itu terucap hanya karena Rayhan sedang emosi. Minggu lalu, ia berhusnudzan bahwa Rayhan hanya sedang terbawa hati. Tidak sampai seperti ini.
Namun ternyata, apa ia salah?
Benarkah kalimat itu Rayhan ucapkan sungguh-sungguh?
Nadin terisak. Tidak mungkin ia menceritakan ini kepada Tante Rina.
Nadin ingat kata-kata Fita dan Rania. Nadin sudah lebih dewasa dari mereka, jadi Nadin sudah pantas untuk menikah.
Tapi ternyata.. ia salah.
Aku belum dewasa. Aku tidak tahu harus apa sekarang.
Tante.. Nadin minta maaf.
Balasan dari Rania datang beberapa saat kemudian.
Kamu kenapa?
Nadin menatap layar ponsel dengan pandangan mengabur. Air matanya sudah membanjir, menutupi wajahnya yang pucat.
Rania menelponnya. Nadin dengan lemas mengangkat panggilan itu.
"Assalamualaykum, Nadin kenapa?"
Hanya isak tangis yang bisa ia berikan sebagai jawaban. Hatinya sudah kebas.
"Nadin, kamu kenapa??!!" Rania di seberang terdengar panik.
"Kak Rayhan.. aku.."
"Kenapa Kak Rayhan?"
"Kak Rayhan bilang.. seharusnya.." ia tak bisa meneruskan kalimat.
Sakit, sakit sekali. Hatinya teramat perih. Nadin sudah tidak bisa lagi mendefinisikan perasaannya. Perasaan ini membuatnya tersiksa.
"Bilang apa, Na?"
"Ran. Apa aku masih sanggup bertahan?"
***
"Ran. Apa aku masih sanggup bertahan?
"Sanggup, Nadin! Kamu pasti sanggup!"
Rania di seberang telepon berseru. Gadis itu, demi mendengar tangis sahabatnya, harus menahan agar air matanya tak ikut turun.
Malam ini, ia baru saja hendak beranjak tidur saat pesan dari Nadin mengusik hatinya.
Sahabatnya, kenapa lagi?Nadin selalu berusaha kuat. Ia bahkan pura-pura tersenyum meski hatinya luka. Ia sembunyikan semua tangisnya, hanya untuk orang-orang di sekitarnya.
Nadin bahkan baru 17 tahun! Kenapa ia harus mengalami yang seberat ini.
Rania jadi takut menikah muda.
"Aku harus apa, Rania?"
"Shalat Na, shalat! Jangan takut, ada Allah. Sebesar apapun rasa sedihmu, masih jauh lebih besar pertolongan Allah.
Jangan nangis lagi, ya?"
Nadin tersenyum. Dihapusnya setitik air mata di pipi, lantas mengangguk meski Rania tak dapat melihatnya.
"Terimakasih."
Rania tersenyum tulus. Diucapkannya dalam hati, doa agar Nadin selalu kuat.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterlight
SpiritualBagaimana perasaanmu kalau siswa paling bandel di sekolahmu, ternyata adalah suamimu? Nadina, umur 17 tahun, tahu jawabannya. Bukan dijodohkan, apalagi married by accident. Ia sadar se sadar-sadarnya, dan menerima permintaan orang yang amat berjasa...