"Apa??!"
Suara Gita yang lantang terdengar bergema di kamar mandi putri pagi ini. Wajah cantiknya memerah, menahan kekesalan. Lala yang ada si sampingnya menghela nafas.
"Jangan kenceng-kenceng ngomongnya, Git,"
"Kenapa lo baru ngomong ke gue, sih?!"
Lala memutar bola mata. "Gue udah bilang semalem lewat chat tentang Kak Ray sama Nadin, lo nggak nge-read."
Gita mendengus. Semalam ia menangis karena bertengkar lagi dengan ayahnya, sehingga tidak membuka chat yang ternyata ramai membicarakan kejadian pramuka kemarin sore. Saat ia mengerjai Nadin, ternyata malah Nadin ditolong oleh kakaknya sendiri, dan dibela oleh gebetannya sendiri. Yaampun, nasib Gita.
"Gue harus lakuin sesuatu biar Kak Ray kembali peduli sama gue. Cuma sama gue."
Dan Lala, meringis melihat kilatan mata Gita yang dihiasi lensa kontak itu. Khawatir, ia segera menarik tangan Gita agar keluar dari kamar mandi.
Bel masuk berbunyi nyaring, dan keduanya lantas kembali menuju kelas yang sudah ramai. Suara bising terdengar di kelas yang terletak di ujung koridor ini. Tampak Aina, sendirian sedang menghapus papan tulis.
Gita menatap Aina dengan pandangan kesal, mengingat bahwa gadis itu termasuk gerombolan Nadin. Dengan kasar, Gita menggebrak papan tulis hingga Aina terkejut kaget.
"Apa lo liat-liat?!"
Aina hanya bisa menunduk. Sedangkan Lala menggelengkan kepala, dasar Gita.
***
"Ciee,"
Nadin menatap Fita dan Rania malas. Sejak tadi malam, keduanya mengejeknya terus karena kejadian di pramuka kemarin sore. Sebab apalagi jika bukan karena Kak Rayhan.
"Aku jadi pengin cepet nikah, tau," Fita memangku tangan, berandai-andai.
"Nikah nggak segampang itu, Fita.. Ada banyak hal yang harus disiapkan. Hati, mental, sampai finansial."
"Tapi kamu sama Kak Rayhan gampang gitu, Na?"
"Kelihatannya aja gampang, Fit. Aslinya nggak semudah itu," Nadin menghela nafas.
"Menikah memang menghindarkan kita dari zina. Tapi, konsekuensinya sangat besar. Ada dua keluarga yang disatukan, ada dua komitmen beda yang harus disamakan. Dan ada banyak tantangan yang harus dihadapi.
Tapi, pastinya dihadapi berdua. Itu yang bikin lebih mudah. Hehehe."
Terdengar "huu" bersahutan dari Fita dan Rania. Keduanya mendengar kalimat Nadin, malah jadi pingin nikah.
"Terus, pendapat kamu tentang orang yang menentang nikah muda itu gimana, Na?" Rania ikut bertanya.
"Setiap orang punya pendapat masing-masing. Orang memilih menikah muda, pasti punya pertimbangan sendiri. Seperti Tante Rina yang melamarkan aku untuk Kak Rayhan. Karena Tante udah siap membiayai kita, udah dipertimbangkan semuanya.
Kalau Tante nyuruh kita nikah, tapi tanpa niat untuk mencukupi semuanya sekarang, ya nggak mungkinlah kita dibiarin nikah. Tante udah berniat membiayai kita, dengan pertimbangannya sendiri. Sampai nanti aku lulus SMA, baru mungkin kita berdua akan dilepas.
Lain halnya dengan orang yang memilih menikah nanti-nanti. Pasti dia punya pertimbangan sendiri juga. Yang pasti, dia juga harus memikirkan gimana cara dia menahan diri dari zina, dan menikah nanti bukan alasan untuk boleh berpacaran sekarang.
Antara menikah sekarang dan nanti, itu keputusan masing-masing orang. Yang harus dipikirkan, bagaimana kita menjaga diri sampai hari itu tiba."
Fita dan Rania mengangguk-angguk di tempatnya. "Mantab jiwaa, Ustadzaah!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterlight
SpiritualBagaimana perasaanmu kalau siswa paling bandel di sekolahmu, ternyata adalah suamimu? Nadina, umur 17 tahun, tahu jawabannya. Bukan dijodohkan, apalagi married by accident. Ia sadar se sadar-sadarnya, dan menerima permintaan orang yang amat berjasa...