Gluduk, gluduk!
Suara petir menyambar disertai langit yang temaram. Angin dingin berhembus menerbangkan dedaunan di jalanan sekolah, tampak memukau indah namun juga membawa sensasi kelam yang menambahi gelapnya sore ini.
Nadin berjalan terseok-seok sembari memegangi kerudungnya supaya tidak terempas angin. Lagi-lagi, rapat rohis membuatnya kesorean untuk pulang. Ia merutuki baterai handphonenya yang tinggal beberapa persen menuju mati. Kebiasaan buruk, lupa mengantisipasi keadaan.
Teman-temannya sudah pulang sedari tadi, tinggallah ia dengan beberapa kawan untuk tugas yang lain. Dan saat ini, menjelang maghrib, dirinya baru saja selesai dengan urusannya. Kalau tidak sedang berhalangan, Nadin pasti akan menunggu hujan reda di masjid sekolah dan shalat maghrib di sana. Namun ia risih, ingin segera pulang.
Nadin mengamati sekitar. Ada beberapa anak OSIS yang sepertinya sedang mengurus sesuatu. Ia melihat ketua OSIS, gebetan hati Fita. Ia tertawa sendiri.
Gluduk, gluduk!
Suara gemuruh kembali terdengar, kali ini disertai hujan yang mulai turun rintik-rintik. "Aduh, ya Allah," Nadin berseru panik. Diambilnya payung berwarna coklat dai tasnya, lalu ia menyebrangi halaman sekolah dengan langkah yang makin terseok karena menghindari genangan air yang mulai tercipta.
Sampai di depan gerbang, Nadin bingung. Di waktu seperti ini, tidak mungkin ada angkot yang masih beroperasi. Juga karena handphonenya hampir mati, mustahil ia bisa memesan ojek online. Lalu ia harus bagaimana? Ingin menghubungi siapa?
Dan satu nama muncul di pikirannya.
Kak Rayhan.
Bayangan beberapa waktu lalu saat Rayhan menjemputnya ketika maghrib berkelebat seketika, membuat bibirnya naik. Ia tersenyum mengingat Rayhan yang akhirnya shalat berjamaah. Dan kemudian, ia ingat ketika Rayhan mengakui dirinya di depan Aina satu minggu lalu. Hingga saat ini, Aina masih sering meledeknya ketika Fita dan Rania tidak ada. Ia lagi-lagi tersenyum. Dasar Aina.
Nadin memutuskan hendak menghubungi Rayhan, namun urung. Ia pikir-pikir dahulu sebelum mengirim pesan. Ia takut akan ada yang melihat mereka, karena satu langkah saja bisa berakibat fatal. Dan karena pikir-pikirnya yang lama ini, baterai handphonenya akhirnya habis sebelum ia sempat mengirim pesan.
"Ah, astaghfirullah! Jangan habis dulu, dong!"
Ia menggoyang-goyangkan handphone mewahnya, namun percuma. "Hape mahal-mahal sama aja, bisa lowbat," Nadin menggerutu kesal.
Setelah itu, ia kembali merenung. Harus bagaimana ia sekarang? Apakah harus berjalan kaki? Ia tidak punya kenalan di sekolah yang bisa meminjaminya charger handphone, dan Nadin juga terlalu malu untuk itu.
Hujan semakin menderas. Air rintik-rintik berubah menjadi butiran, menabrak payung yang Nadin gunakan dan menyebabkan bunyi nyaring.
Nadin mengusap lengan, menghalau dingin. Ia mengatupkan tangan, memejamkan mata, lantas berdoa dalam hati.
"Allahumma shayyibannafi'a..'
Ya Allah, semoga Engkau jadikan hujan ini bermanfaat. Aamiin.."
Apa kalian tahu, doa apa itu?
Ya, jawababannya jelas: doa ketika turun hujan.
Dari Ummul Mukminin, 'Aisyah radhiyallahu 'anha,
إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterlight
EspiritualBagaimana perasaanmu kalau siswa paling bandel di sekolahmu, ternyata adalah suamimu? Nadina, umur 17 tahun, tahu jawabannya. Bukan dijodohkan, apalagi married by accident. Ia sadar se sadar-sadarnya, dan menerima permintaan orang yang amat berjasa...