"Tut.. tut."
Panggilan telepon itu menunggu jawaban. Satu detik, dua detik. Gadis di seberang telepon menggigit jarinya dengan cemas. Akankah.. panggilan ini tersambung kepadanya?
***
Empat belas hari berlalu sejak terakhir kali Nadin mendengar kabar tentang Rayhan. Setelah itu, ia sibuk mempersiapkan ujian. Dan Rayhan sendiri, sudah melewati ujian yang paling mendebarkan: UN. Ya meski masih ada satu tahap lagi untuk masuk PTN: ujian SBMPTN.
Nadin sibuk dengan kegiatan sehari-harinya. Belajar, membereskan rumah bude, menjemur baju dan memasak, juga pergi ke makam orang tuanya. Sudah lama ia tidak bertelponan dengan keempat kawannya.
Terakhir kali ia mendengar kabar, hatinya gembira bukan kepalang.
"Na, Kak Ray ngajarin gengnya shalat sama Kak Yan!" Nadin tersenyum. Hampir menangis malahan. Sungguh, jarak dan waktu memang dapat memberi ruang untuk saling berkembang.
Kak Rayhan berhasil melewati itu. Kak Rayhannya semakin belajar, dan kini telah bermetamorfosis menjadi seperti yang ia harapkan dulu.
Dan ia.. juga tidak mau kalah. Mendegar Kak Rayhan melewati ujian dengan mudah, ia tidak mau kalah dan bertekad menghadapi ujiannya dengan siap. Nadin harus jadi perempuan yang cerdas.
Suara televisi di ruang tengah menarik Nadin untuk ikut duduk bersama budenya. Memandang layar kotak itu dengan seksama, sambil mengamati sosok bude dari samping. Kalau nanti ia pergi, apa harus meninggalkan adik ibunya yang sangat perhatian ini?
Kalau nanti ia pergi, apa ia harus meninggalkan Uta yang senang sekali bermanja-manja padanya?
Apa ia harus meninggalkan teman-teman baru yang ia sayangi? Dan pemandangan desa yang ia sukai, dan pematang sawah yang ia lewati tiap hari untuk mencari sinyal,
Dan makam orang tuanya yang bertanah merah.
Memikirkan itu membuat Nadin sedih juga.
Tapi di sisi lain, tentu saja ia rindu. Pada Fita yang bawel, Rania yang anggun, dan Aina yang pemalu. Pada teman-temannya di rohis yang menyenangkan. Pada Tante Rina. Pada rumahnya yang penuh kenangan.
Juga tentu saja pada orang paling labil sedunia, Rayhan.
Nadin tersenyum. Diambilnya gantungan kunci di tas yang selalu ia bawa kemanapun. Gantungan kunci berbentuk hati berwarna hijau dan biru. Satu miliknya, satu lagi punya Rayhan.
Hm.. kangen sekali rasanya.
Bude menyadari Nadin yang duduk di sampingnya. Gadis itu masih memandangi gantungan kunci itu lekat. Bude tersenyum, mengelus kepala Nadin.
"Sebentar lagi, Nadin pulang kok... ujian dulu ya,"
Nadin mendongak. Air matanya hampir tumpah tiba-tiba karena terharu pada ucapan bude.
"Tapi nanti yang bantu bude siapa? Yang urus makam ibu siapa?"
Bude tersenyum lagi. "Loh, memang sebelum kamu kesini, siapa yang urusin? Ya bude, lah. Bude udah biasa,"
Nadin menangis. "Maaf ya bude.. ngerepotin. Nadin ga pernah kesini,"
"Siapa bilang ngerepotin? Ibu kamu itu adik bude yang paling baik.. keluarga bude satu-satunya setelah eyang meninggal. Cuma ibu kamu yang peduli sama Uta dulu."
"Nadin ga usah khawatir, ini tugas bude. Tugas kamu.. berbakti sama suamimu."
Hiks. Nadin menangis dan menyedot ingus. Pertahanannya pecah. Entah kenapa hari ini ia mellow sekali.
"Kalian itu sudah jadi sepasang. Tidak seharusnya terpisah.
Sudah cukup waktu dan jarak membuat kalian saling belajar. Waktunya kamu pulang, Na."
"Bude.."
"Sepulang dari sini, jadilah sepasang yang saling mengerti. Sepasang yang saling memahami. Sepasang yang ada untuk satu sama lain..
Karena sepasang hati, tidak akan pergi meski telah retak.."
Suara televisi yang nyaring membungkus sore itu dengan nyanyian iklan. Nadin dalam pelukan bude, menangis diam-diam.
Langit senja yang turun mengisyaratkan waktu segera beranjak. Untuk hari esok, membawa yang terpisah untuk segera berkumpul kembali.
***
Sepasang untuk selamanya
Ada yang dicipta sepasang
Untuk saling melengkapi di kala kurang
Untuk saling melindungi di kala rapuh
Untuk saling memberi di kala butuh
Untuk saling memahami selamanyaAda yang dicipta sepasang
Agar berdua menatap fajar dan jingga senja
Agar berdua menyesap seduh kopi di kala larut
Agar berdua meratap pada sunyi di sepertiga malam
Agar berdua, untuk menggapai cinta Tuhan yang MahatinggiAda yang dicipta sepasang
Seperti matahari dan bulan yang berbagi sinar
Seperti kayu dan api yang saling menyalakan
Seperti awan dan hujan yang saling menghadirkan
Seperti gerimis dan pelangi yang mengindahkanAda yang dicipta sepasang
Untuk selamanya
Berbagi lara dan bahagia
Bersari getir dan manis hidup
Berpatri pada kalam dan syariat-Nya
Berdua, berjalan bersamaAda yang dicipta sepasang
Untuk selamanya
Agar saling melengkapi, melindungi, memberi, dan memahami
Agar saling menguatkan
di jalan iniAda yang dicipta sepasang
Untuk selamanyaDan sungguh,
bersamamu
Selamanya tak terasa seperti waktu yang lama.-N
***
"Tut.. tut."
Panggilan telepon itu menunggu jawaban. Satu detik, dua detik. Gadis di seberang telepon menggigit jarinya dengan cemas.
Seseorang di seberang sana menatap layar telpon, bertanya-tanya. Siapa yang menghubunginya larut malam seperti ini? Ia baru saja membersihkan kamar kosong yang ditinggalkan pemiliknya berbulan-bulan lalu.
Tangannya yang sebelah masih memegangi gantungan kunci berbentuk hati hijau biru sebelum nada dering itu tersambung lagi.
"Tut.. tut."
Clek.
"Halo?"
***
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterlight
SpiritualBagaimana perasaanmu kalau siswa paling bandel di sekolahmu, ternyata adalah suamimu? Nadina, umur 17 tahun, tahu jawabannya. Bukan dijodohkan, apalagi married by accident. Ia sadar se sadar-sadarnya, dan menerima permintaan orang yang amat berjasa...