AL-23. Broken

30.5K 1.9K 24
                                        


Langit biru masih benderang ketika rapat rohis kali ini selesai. Burung-burung gereja asyik mematuk-matuk rumput di halaman masjid. Ketika ada orang datang, segerombolan burung itu kompak terbang bersama, menciptakan pemandangan indah di langit sore hari. Namun, berbanding terbalik dengan keindahan itu, hati Nadin tengah mendung sore ini.

Nadin menekuk lutut di pojok teras masjid selepas rapat. Matanya menatap lalu lalang siswa yang hendak melaksanakan shalat jamaah dengan pandangan kuyu, menahan tangis. Suara adzan bergema melalui corong masjid, nampaknya petugas rohis ikhwan telah siap menjalankan tugasnya untuk melaksanakan shalat ashar berjamaah siang ini.

Nadin sendirian, setelah bertengkar hebat dengan Fita dan Rania tadi.

Iya, bertengkar. Bertengkar dalam artian sebenarnya. Dan membuat hatinya patah.

Selama hampir lima tahun mereka berteman, baru kali ini ketiganya bertengkar. Dan itu semua karenanya. Karena kesalahan yang ia pendam, dan kini akhirnya gunung es tersembunyi itu telah muncul ke permukaan.

Aina datang beberapa menit kemudian dan ikut duduk menekuk lutut di samping Nadin. Ia menyeka hidung, jelas sekali habis menangis dari kamar mandi.

"Maafin aku, Na..," ujarnya parau.

Nadin menggeleng. "Kamu nggak salah, Ain. Aku yang salah,"

Keduanya larut dalam sesal.

***

Satu jam sebelumnya, di rapat rohis.

Nadin, Aina, Fita, dan Rania duduk beriringan di tempat rapat. Keempatnya tengah asyik menyimak pembicaraan Haikal, sang ketua. Rapat kali itu membahas tentang program kerja terbaru yang akan dilaksanakan, yaitu rihlah rohis. Rapat ini berbeda dari rapat kemarin yang membahas evaluasi bulanan yang selalu dilakukan.

Fita paling suka dengan kegiatan semacam ini, kegiatan outdoor dan di alam terbuka. Rihlah atau refreshing ini akan dilakukan di bukit kota mereka, dengan menginap di camp. Membayangkannya saja Fita sudah riang bukan kepalang. "Aku mau bawa selimut yang banyak, deh. Biar kalo pagi aku gak kedinginan, biar nggak bersin-bersin," ia nyengir.

"Aku mau bawain tissue buat kamu yang banyakk, biar kalo bersin virusnya nggak nyebar," jawab Rania. Fita menimpuk Rania dengan sajadah, lantas tertawa. Aina tertawa pelan, Nadin hanya tersenyum. Mereka berdua ada-ada saja.

"Ehm. Mohon tenang sebentar, ya, Rania,"

Bruak. Ucapan Haikal dari depan membuat Rania seketika menjatuhkan sajadah yang hendak ia gunakan untuk menimpuk Fita. Ia tersenyum canggung, lantas mengangguk dan segera menunduk. Dalam hati, ia merutuki Fita yang membuatnya lagi-lagi ditegur Haikal. Sementara Fita, ia tertawa puas penuh kemenangan, melihat wajah Rania yang merah padam.

Selepas rapat, seperti biasa Nadin berkumpul di rapat inti yang membahas internal rohis. Ia melihat sekeliling, sudah lama ia tak melihat Yanuar bergabung di rapat rohis.

Nadin dan anak lainnya telah selesai membahas masalah progress setiap divisi ketika Haikal memanggilnya. Haikal meminta Nadin memeriksa beberapa dokumen. Fita yang iseng kemudian mendekati mereka, hendak mengejek Rania. Fita berniat mengagetkan Nadin ketika tiba-tiba Haikal bertanya,

"Tadi pagi kamu berangkat dibonceng Bang Ray? Kalian ada hubungan apa?"

...dan seketika terasa runtuhlah dunia Nadin.

***

Beberapa jam sebelumnya, di kelas.

Matahari di atas atap sekolah bersinar terik. Kelas siang hari ini berjalan membosankan, dengan pelajaran yang membingungkan. Rania mengetuk-ngetukkan ujung pulpen ke meja. Ia menatap kosong pada papan tulis di depan kelas yang bertulis angka-angka fisika, sama sekali tak dimengertinya. Ia mendesah penat, menyuarakan hatinya yang gelisah.

AfterlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang