Suasana kantin sedang sangat ramai ketika Nadin cs tengah memakan menu makan siang kesukaan mereka. Nadin soto, Fita dan Rania dengan baksonya. Sementara Aina mulai beberapa waktu lalu membawa bekal ke sekolah. Alasannya supaya lebih hemat katanya. Keempatnya sesekali mengobrol santai, melupakan masalah Nadin-Rayhan yang akhir-akhir ini terjadi.
"Kalo gitu aku abis SMA mau langsung nikah aja, deh," ujar Fita sembari menyeruput es teh. Rania terbahak.
"Calonnya mana, calon?"
Nadin dan Aina ikut tertawa. Fita merengut. "Iya, tau, yang udah ada calon. Akumah apa!"
Kini giliran Rania yang cemberut. "Siapa, coba?"
"Udah, ah, jangan baper mulu," ujar Nadin menengahi. Fita menyengir.
"Sekali-kali kalian kalem kayak Aina, bisa?"
"Fita yang ngajak ribut,"
"Enak aja!"
Keduanya saling beradu mulut sambil mengayunkan sendok masing-masing. Aina dan Nadin hanya menghela nafas. Dasar anak dua ini.
Gerombolan Gita tiba-tiba datang menginterupsi mereka. Tatapan mata itu penuh angkuh sambil menatap keramaian. Gita berjalan diikuti teman-temannya, lantas duduk di meja seberang gerombolan Nadin. Ia memindai Nadin sekilas, lantas berdecih sinis.
Nadin terdiam, apalagi ketiga sahabatnya yang tak tau harus bereaksi seperti apa mengingat kejadian kemarin di kantin. Yang bisa mereka lakukan hanya menatap, seperti Nadin yang kini memandang Gita sendu.
"gue benci sama lo."
Kalimat itu meluncur deras di ingatannya. Tatapan Gita yang putus asa dan marah, membuat Nadin tak kuasa. Ia iba, sepertinya ia paham perasaan Gita.
Sayangnya.. Gita menempatkan perasaannya pada tempat yang salah.
Ia terlalu terobsesi, menjadikan perasaan merasa diperhatikan itu menjadi sesuatu yang merambat dalam hatinya, sebagai tanaman berduri. Perasaannya pada Rayhan membutakan segalanya. Dan itu, karena ia kesepian...
...Nadin tau jelas rasanya.
Ia yang ditinggalkan oleh orang terkasih untuk selama-lamanya, dalam keadaan belum sepenuhnya mengerti. Rasa kesepian itu menusuk-nusuk hati Nadin selama beberapa waktu, hingga sebuah tangan mengulurkan kasih sayang padanya.
Gita tak seberuntung Nadin. Ia memiliki Tante Rina, Om Permana, dan Kak Rayhan. Mereka adalah pengganti keluarganya yang telah pergi.
Gita tak seberuntung itu menemukan rumah baru untuk hatinya yang patah karena perceraian kedua orang tuanya. Dan Rayhan lah, yang pertama kalinya mengulurkan tangan. Itu yang membuatnya terobsesi, perasaan dilindungi itu tumbuh menjadi sesuatu yang di luar batas, menjadikannya tidak melihat ada dinding pembatas yang harus ia patuhi.
Nadin tau. Dan ia, tidak bisa marah.
Ia tidak bisa marah meski se-cemburu apapun ia pada Gita.
Ia tak bisa protes meski seburuk apapun perlakuan Gita padanya.
Bahkan kemarin pun, ketika akhirnya ia pulang ke rumah setelah menghadapi kemarahan Gita, ia tak bisa menceritakannya pada Rayhan. Meski Rayhan bertanya seribu kali pun mengapa ia menangis sore itu, Nadin sungguh tak bisa.
Dering bunyi ponsel Nadin memutusnya dari lamunan, membuat Nadin mengangkat telpon dengan sedikit ragu. Ia melihat layar, sebuah nomor tak dikenal memanggilnya. Lantas Nadin mengangkatnya, mengabaikan tatapan Gita padanya yang seperti menyimpan dendam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterlight
SpiritualBagaimana perasaanmu kalau siswa paling bandel di sekolahmu, ternyata adalah suamimu? Nadina, umur 17 tahun, tahu jawabannya. Bukan dijodohkan, apalagi married by accident. Ia sadar se sadar-sadarnya, dan menerima permintaan orang yang amat berjasa...