Tiga sahabat sedang duduk di sudut taman sekolah. Aina, Rania, dan Fita.
Suara bising anak laki-laki bermain bola di lapangan tak membuat suasana terasa ramai. Mereka dikelilingi kesedihan, tertunduk. Sepagi ini, mereka sudah berkumpul dan tidak berselera beraktivitas di sekolah.
Mereka menatap surat dari Nadin yang diberikan hari kemarin. Di tangan masing-masing, ada gadget mereka yang digunakan untuk menghubungi Nadin sejak kemarin, meski tak pernah ada balasan.
"Aku kangen Nadin.."
Fita meniup udara, lantas menumpukan siku ke meja taman. Matanya menerawang menatap langit biru tanpa awan.
"Kenapa Nadin pergi? Apa ini ada hubungannya sama Kak Rayhan?" Aina menatap surat dari Nadin sekali lagi.
Rania menghela nafas. Ia jelas tau jawabannya, namun memilih bungkam. Gadis itu terlalu sedih mengetahui keputusan yang Nadin ambil. Namun bagaimanapun, ini pasti yang terbaik untuk mereka.
Fita bangkit dari duduk, menatap Rania.
"Kamu pasti tau alesannya, Ran."
Rania mendongak. "Ee... itu..,"
"Jelasin semuanya ke kita!"
***
Fita nampak emosi ketika Rania selesai berbicara.
"Kok Kak Rayhan gitu, sih.. aku jadi kesel dengernya!"
Rania menghela nafas. "Semua nggak se-sederhana kelihatannya, Fit,"
"Aku mau samperin Kak Rayhan!"
"Eeh, ngapain?" Rania dan Aina mencegah langkah Fita.
"Ngapain lagi kalo nggak marahin!"
Aina dan Rania sama-sama menghela nafas. "Fitaa!"
"Kamu harus dewasa. Latihan mengatur emosi," ujar Rania. Fita menundukkan kepala setelah itu.
"Tapi aku takut..
Nadin gak kembali."Ketiga gadis itu akhirnya terpekur menatap keramaian lapangan dan hening dedaunan. Menengadah, menatap luasnya langit dan birunya awan.
Rania menghela nafas.
Bagaimana jika Nadin tidak kembali? Apakah kisah mereka akan berakhir sedih?Jika waktu bisa diputar, apakah Nadin akan tetap mengambil langkah yang sama?
***
Ada yang aneh lagi pagi ini. Nadin tidak tampak di penglihatan Rayhan!
Laki-laki itu kemarin terlalu sibuk mengurus ujian hingga lupa mencari Nadin di sekolah. Dan di rumah pun, Nadin tidak mau keluar dari kamarnya. Itu yang Rayhan kira hingga malam tadi langsung tidur tanpa mencari Nadin.
Namun pagi ini.. hatinya kalut.
Tidak mungkin Nadin mengabaikannya sampai seperti ini.
Rayhan yang sudah siap dengan seragam lengkap ragu-ragu mengetuk pintu kamar Nadin. Hatinya masih kebas, merasa gengsi dan juga kesal pada diri sendiri.
Emosinya memuncak kala mengingat Nadin bersama Yanuar, atau siapapun. Namun hatinya lebih teriris lagi saat merasa Nadin tak ada di sisinya.
Nadin tidak mungkin pergi, kan?
Tok, tok.
Tak ada jawaban.
Sekali lagi. Rayhan membuang jauh gengsinya.
"Nadin?"
Tetap tidak ada jawaban.
Setelah menimbang beberapa kali, Rayhan akhirnya menerobos masuk ke dalam kamar. Pikirannya kemana-mana, takut Nadin kenapa-kenapa. Jadi ia memberanikan diri untuk memutar gagang pintu itu pelan, seraya berharap nantinya Nadin ada di sana, tersenyum kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterlight
EspiritualBagaimana perasaanmu kalau siswa paling bandel di sekolahmu, ternyata adalah suamimu? Nadina, umur 17 tahun, tahu jawabannya. Bukan dijodohkan, apalagi married by accident. Ia sadar se sadar-sadarnya, dan menerima permintaan orang yang amat berjasa...