Satu bulan kemudian
Langit terang benderang, teduh dipayungi awan. Matahari bersinar cerah namun tidak terik, tersenyum kepada bebungaan cantik di halaman sekolah.
Suasana aula besar SMA Persada ramai oleh riuh rendah suara murid-murid kelas 12 yang berbaris rapi. Seragam sekolah yang biasa mereka pakai kini ditutupi oleh baju toga berwarna hitam, lengkap dengan topi wisuda.
Ya, hari adalah hari besar, hari kelulusan.
SMA Persada yang biasanya ramai, kini lebih ramai. Parkiran dipadati kendaraan keluarga wisudawan. Nampak pedagang bunga dan pernak-pernik berjejeran. Anak-anak kecil, yang pastinya keluarga siswa yang diwisuda, saling berkejaran di pelataran aula. Tak lupa, rombongan siswa kelas sepuluh dan sebelas juga ikut meramaikan suasana.
Memang sudah menjadi tradisi di SMA Persada untuk mengkhususkan hari libur wisuda dan mengadakan perayaan antara kelas 12 dan adik-adik kelas yang ditinggalkan. Sehabis upacara wisuda, panggung diisi dengan perwakilan adik kelas untuk mengucapkan selamat jalan. Setelah itu, barulah saling memberi bunga dan berfoto bersama.
"Eh tolong benerin toga gue, rapi kagak?" Anton di pojokan ribut sendiri, mengganggu Rayhan. Mereka sedang menunggu upacara wisuda untuk dimulai.
"Siapa juga yang mau ngeliat, ah." Ujar Rayhan acuh.
"Anjirlah," jawab Anton kesal.
Rayhan menoleh, lalu menimpuk kepala Anton. "Kasar lu, omongannya jelek," lalu Anton tertawa dan berucap, "sori sori. Masih kebiasaan gue,"
Rayhan menatap jam tangan, menunggu memang sangat membosankan. Matanya menangkap bayangan papanya yang duduk di bangku depan, barisan pejabat sekolah, sebagai ketua yayasan. Sementara mamanya belum terlihat di manapun. Memang mama bilang ada urusan sebentar, jadi berangkat terpisah.
"Akhirnya lulus juga gue. Susah payah nih," teman satu geng Rayhan menyeletuk, diikuti tawa tertahan mereka.
"Habis ini masih ribet cari kuliah, belum selese perjuangannya," jawab Anton. Ya, ia memutuskan untuk serius mencari kampus. Tidak harus bagus, asal ia bisa kuliah saja ayahnya bangga.
Yang lainnya mengiyakan. "Ray sih enak, udah dapet kuliah.. gak usah belajar lagi. Nyesel gue kagak belajar dulu," gerutu yang lain. Rayhan tertawa.
Ya, Rayhan akhirnya berhasil mendapatkan tempat kuliah yang ia inginkan. Siapa sangka, ia lolos SNMPTN. Ternyata kecerdasannya memang diakui, meski ia banyak berulah hingga kecerdasan itu tertutupi. Mamanya menangis bahagia, akhirnya anak nakalnya ini menunjukkan kalau ia bisa berubah.
Suara mic check terdengar. Riuh rendah siswa yang mengobrol segera redam, sadar acara akan segera dimulai.
Pembawa acara maju, dan layar proyektor menampilkan tulisan besar-besar: WISUDA SMA PERSADA Dan dimulailah upacara wisuda yang berlangsung khidmat.
Rayhan menoleh ke belakang, mencari mamanya di deretan kursi orang tua. Anton berbisik, "cari siapa lu? Nadin?"
Deg.
Sedari tadi hatinya menghindari nama itu. Kini Anton malah menyebutkan dengan ringannya. Ia meninju pelan lengan Anton. Akhirnya pertahanannya untuk tidak mengingat gadis itu runtuh juga.
Ah, Nadin. Hatinya tak lagi berani berharap.
Memimpikan Nadin akan datang, pasti tidak mungkin. Ia tak berani berharap apapun lagi tentang Nadin.
Sejak.. satu bulan lalu gadis itu menelponnya.
Dengan suara bergetar, ia berucap,
"Assalamualaykum, Kak."Butuh satu detik untuk menyadari, gadis yang hadir di mimpinya setiap malam itu, kini hanya berjarak satu telepon dengannya.
Rayhan menjawab ragu. "Waalaykumussalam....
Ini kamu?"Suara di seberang tertawa kecil, canggung. "Iya."
Kebahagiaan seolah memenuhi rongga dadanya. "Na, aku..,
....kangen."
Lalu keheningan menjeda keduanya. Beberapa detik, Nadin tak bersuara. Rayhan menunggu jawaban, hingga tiba-tiba,
Tut..tut.
Telepon dimatikan sepihak. Nadin mengakhiri sambungan itu. Rayhan bertanya-tanya, lantas segera menelpon nomor itu kembali, namun nihil. Nomer itu tak bisa lagi dihubungi.
Rayhan bingung. Kenapa? Apa yang salah? Kenapa Nadin tak mau menjawabnya?
Perempuan sangat sulit dipahami.
Dan ia sejak saat itu putus asa. Dipenuhi pemikiran, kenapa Nadin harus menelpon jika pada akhirnya mematikan sambungan. Kenapa? Ia hanya membuat rindu semakin berjarak.
Hatinya dipenuhi Nadin setiap saat.
"Wisudawan dimohon berdiri."
Suara pemandu acara membuat pikirannya buyar. Kini wisudawan bersiap maju ke depan, menerima ijazah. Ia buru-buru berdiri dari bangkunya.Satu per satu wisudawan maju diiringi tepuk tangan hadirin maupun adik kelas yang menyaksikan. Saat tiba giliran Rayhan, suara tepuk tangan riuh berasal dari adik kelas perempuan. Rayhan maju dengan sedikit malu.
Rayhan tak tau, sebuah senyum terbit dari wajah seseorang di balik kerumunan. Pipinya bersemu merah. Tangannya menggenggam seikat buka ester yang menawan. Mendengar keramaian masih bertepuk tangan untuk seseorang di depan, ia tersenyum lagi.
Basic. Kebiasaan Kak Rayhan, menjadi pusat perhatian.
Ia berbalik, melangkah keluar aula besar itu.
Tas kecilnya berayun, membunyikan suara gantungan kunci berupa dua hati berwarna hijau dan biru yang saling beradu.
***
Bersambung.
Maaf pendek. Kalo kalian banyak vote + komen, cepet update deh😌See you!

KAMU SEDANG MEMBACA
Afterlight
SpiritualBagaimana perasaanmu kalau siswa paling bandel di sekolahmu, ternyata adalah suamimu? Nadina, umur 17 tahun, tahu jawabannya. Bukan dijodohkan, apalagi married by accident. Ia sadar se sadar-sadarnya, dan menerima permintaan orang yang amat berjasa...