Bulan purnama bersinar penuh di langit malam, menerangi Nadin dan Rayhan saat keduanya pulang. Sudah menjelang isya ketika Nadin dan Rayhan sampai di rumah. Dan Nadin tak sadar, Rayhan sengaja memilih rute lebih jauh, sehingga perjalanan menjadi lebih panjang.
Keduanya memasuki rumah yang masih gelap. Nadin memarahi Rayhan karena lupa menyalakan lampu dan mengunci pintu ketika pergi tadi. Rayhan hanya menjawab dengan mengendikkan bahu. Nadin tidak tahu, Rayhan bahkan lupa mencopot charger handphone di kamar karena saking terburu-burunya menjemput Nadin.
Di depan sana, di balik gerbang, terparkir sebuah mobil berwarna merah. Dan di dalamnya, Gita sedang terpana. Nadin dan Rayhan memasuki rumah yang sama?
Kakak sepupunya yang menyetir mobil menegurnya, menyuruh mereka pulang. Ini sudah terlalu jauh dari rumah Gita. Gita hanya mengiyakan singkat. Hatinya sedang bingung, menelaah berbagai macam kemungkinan yang bisa terjadi.
Tadi sepulang dari berbelanja, ia tak sengaja melihat motor Rayhan melaju dan berhenti di lampu merah yang sama dengan mobilnya. Ia memutuskan mengikuti motor Rayhan, membuat kakak sepupunya kesal. Sepanjang perjalanan mengikuti Rayhan, hatinya ketar-ketir tak karuan melihat Nadin di boncengan motor Rayhan, hal yang paling ia inginkan. Karena sudah lama sejak Rayhan bersedia menjemputnya, sebelum alasan konyol bukan mahram Rayhan lontarkan.
“Gila, gila, gila,” ucapnya sambil memukul kepala. “Gimana mungkin.. Kak Ray sama Nadin bisa satu rumah?”
“Lo yang gila, Git. Jangan kayak orang stress, deh,” ujar kakak sepupunya. “Mending sekarang kita pulang.”
Dan Gita yang tak berhasil menemukan kesimpulan, malam itu hanya bisa pasrah. Ia memilih menyerah berpikir, dan memutuskan pulang.
***
Tuk, tuk, tuk.
Suara meja yang diketuk-ketuk membuat Aina terganggu. Saat ia menoleh, ternyata Gita sedang menyandarkan kepala di meja, dan tangannya mengetuk-ngetuk, membuat suara berisik. Namun tak ada yang berani menegur Gita. Semua orang membiarkan Gita larut dalam pikirannya, padahal tugas yang diberikan karena jam kosong belum Gita sentuh sama sekali.
Aina menghela nafas, memutuskan untuk menulikan telinga. Ia kembali menatap soal-soal.
Sementara Gita, masih berkutat dengan pikirannya. Ia masih memikirkan satu hal, tentang apa yang dilihatnya semalam. Tentang Kak Ray yang pulang berboncengan naik motor bersama Nadin, dan keduanya memasuki rumah yang sama. Hal ini sama sekali tak dapat diterima oleh akalnya. Ia menggaruk kepala frustasi, membuat rambut yang sudah ia blow dari tadi pagi menjadi kucel.
“Lo kenapa sih, Git? Lagi ada masalah?” Lala yang duduk di sampingnya menyerah untuk tak menegur. Sedari tadi ia pun bingung dengan tingkah Gita.
“Diem. Biarin gue mikir.”
Jawaban Gita yang singkat membuat Lala bungkam. Ia kesal setengah mati, niatnya untuk peduli malah tidak dihargai sama sekali. Ia hanya menghela nafas perlahan, kemudian kembali fokus pada soal, berusaha sabar.
Gita lagi-lagi mendesah frustasi. Ia menatap layar ponselnya gundah. Pesannya kepada Rayhan sama sekali tak dibaca sejak kejadian Rayhan bilang mereka bukan mahram. Ia lantas menyobek sebuah kertas, dan mulai menggoreskan pulpen perlahan.
1. Gantungan kunci sama
2. Boncengan naik motor malem2
3. Rumahnya sama!!!Gita membaca kembali clue-clue yang ia temukan tentang hubungan Nadin dan Rayhan. Tak dapat dipungkiri, ia resah dan heran. Jika Rayhan menolak menjemputnya dengan alasan mereka bukan mahram, lantas mengapa Rayhan berboncengan dengan Nadin malam-malam?
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterlight
EspiritualBagaimana perasaanmu kalau siswa paling bandel di sekolahmu, ternyata adalah suamimu? Nadina, umur 17 tahun, tahu jawabannya. Bukan dijodohkan, apalagi married by accident. Ia sadar se sadar-sadarnya, dan menerima permintaan orang yang amat berjasa...