Malam semakin larut. Sinar lampu kota menutup pancaran bintang-gemintang di atas. Gelap langit tidak senada dengan terangnya jalanan.
Sebuah motor membelah jalanan kota dengan angkuh, tak berhenti sejak satu jam lalu. Rayhan, si pengendara, tak berhenti menambah kecepatan. Saat sedang marah dan emosi, membelah jalanan dengan kecepatan tinggi adalah caranya melepas penat. Ia tak peduli sudah berapa kali mamanya menasehati kebiasaan ini. Hatinya sedang emosi tak terkira.
Motor ia hentikan di pinggir jalan, sepi dari keramaian. Rayhan turun dan melepas helm full face-nya, lantas terduduk di tempat duduk jalanan.
Ia menengadah menatap langit gelap, lalu tersadar bahwa ia belum shalat isya. Meski ia senakal apapun, sekarang ia tak pernah lupa shalat, berkat Nadin.
Ah, Nadin.
Gadis itu memenuhi pikirannya.
Sejak kapan semua menjadi rumit?
Ia merasa sangat kesal, dibodohi. Perasaan bersalahnya karena tak sengaja memukul Nadin, menguap setelah menemukan setangkai mawar merah di tempat sampah depan kamar Nadin.
Ia yang tadinya hendak mengecek keadaan Nadin, berubah kecewa melihat bunga mawar itu. Pikirannya kalut, mencari kesana kemari siapa yang berani memberikan Nadinnya, setangkai bunga, bahkan saat ia belum pernah memberi Nadin apapun.
Ia tidak bisa memisahkan, sebenarnya ia marah pada dirinya sendiri, atau pada Nadin?
Dan siang tadi, Gita memberi tahunya bahwa Nadin sedang berduaan dengan Yanuar di depan ruang rohis. Ia hampir tak percaya, namun hatinya lagi-lagi kecewa.
Ternyata selama ini, Nadin masih berhubungan dengan Yanuar. Besar prasangkanya, mawar merah itu pemberian Yanuar pada Nadin. Gadis itu bahkan juga memberikan Yanuar perhatian, sementara berbicara pada Rayhan pun tidak setelah kejadian perkelahiannya.
Ia kesal, marah. Tanpa sadar ia malah menambah rumit semuanya.
Rayhan menghela nafas berat. Ia kemudian melajukan lagi motornya, mencari mushala untuk shalat.
***
Ting ting ting!
Suara handphone Rayhan berkali-kali membuat konsentrasi laki-laki itu terpecah saat shalat. Salahnya sendiri, tidak mematikan ponsel saat sedang shalat di mushala terpencil ini.
Diambilnya handphone dari saku celana yang belum ia sentuh dari sore. Ternyata, Gita menghubunginya berkali-kali.
Lihat? Nadin bahkan tidak mencarinya! Rayhan kesal sekali.
Diangkatnya panggilan dari Gita dengan emosi, tidak peduli lagi meski gadis itu sangat mengganggu akhir-akhir ini.
"Kak Ray lagi apa? Aku telfonin gak diangkat dari tadi."
"Gue lagi di jalan."
"Mau kemana?"
"Gak tau."
"Wait, Kak Ray kebut-kebutan di jalan lagi, ya?" Suara Gita khawatir.
Rayhan tersenyum pedih. Gita aja khawatir, Na. Masa kamu enggak.
"Gita ke sana sekarang!"
Piip. Panggilan itu dimatikan. Rayhan tak peduli.
Beberapa saat kemudian, Gita menyuruh Rayhan membagikan lokasi terkininya. Ia menurut saja.
Gita menyuruh Rayhan tetap di sana, Rayhan juga menurut. Setengah jam kemudian, Gita sampai di sana menggunakan mobil ojek online. Mati-matian ia mengarang alasan untuk bisa lepas dari ayahnya malam ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Afterlight
SpiritüelBagaimana perasaanmu kalau siswa paling bandel di sekolahmu, ternyata adalah suamimu? Nadina, umur 17 tahun, tahu jawabannya. Bukan dijodohkan, apalagi married by accident. Ia sadar se sadar-sadarnya, dan menerima permintaan orang yang amat berjasa...