Hari masih pagi ketika Nadin berkutat dengan berbagai macam alat perang di dapur. Ia bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan sesuatu yang spesial. Kemarin, Tante Rina mengiriminya sebuah buku resep membuat kue aneka jenis yang katanya worth it untuk dicoba. Dan Nadin, yang pada dasarnya memang suka memasak, excited sekali mencobanya. Ia sudah membeli semua bahan kemarin, dan bersiap mencobanya pagi ini.
Udara berhembus dingin, namun Nadin tak mempermasalahkannya. Beberapa kali ia bersin, namun ditahannya rasa dingin itu. Ia mengaduk adonan yang sudah ia persiapkan sejak semalam dengan semangat. Ia hanya tinggal menambahkan beberapa campuran, memasukkan ke dalam oven, dan menghias kue-kue dengan cantik.
Kenapa tidak dilakukan sejak semalam? Karena Nadin sudah terlalu lelah dan ingin tidur.
Nadin berjingkat melewati kamar Rayhan saat hendak mengambil sesuatu di kamarnya. Ia memandang jam dinding yang berdetak konstan, jarum jamnya menunjukkan pukul tiga lebih lima belas menit.
Setelah memasukkan adonan ke dalam oven, Nadin mencuci tangan yang belepotan dan membereskan perlengkapan membuat kuenya. Ia menuju kamarnya, hendak bersiap shalat tahajjud. Ketika kembali melewati kamar Rayhan, ia berpikir keras.
“Bangunin nggak ya, bangunin nggak, ya?”
Setelah menimbang-nimbang cukup lama, akhirnya ia memberanikan diri mengetuk pintu kamar itu. Beberapa hari ini memang Rayhan sudah bangun sendiri untuk shalat, tapi hari ini Nadin rindu mengetuk pintu bertempel sticker bola itu.
Tok, tok.
“Kak Rayhan, udah bangun, belom?”
Tidak ada jawaban, hening menyelimuti. Namun Nadin tak ingin menyerah kali ini. Ia ketuk pintu itu kedua kalinya, berharap si empunya kamar sudah terjaga.
“Kak, tahajjud,”
Cekrek.
Pintu kamar terbuka, Nadin kaget dan mundur ke belakang. Di hadapannya, Rayhan mengucek mata. Sepertinya Nadin benar-benar membangunkannya.
Rayhan memandang Nadin sekilas, lantas menguap. Nadin jadi merasa bersalah karena Rayhan terlihat sangat mengantuk. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bingung hendak bicara apa. Ia akhirnya memutuskan untuk kembali ke kamar saat Rayhan masih mengucek mata. Ia berpikir, lain kali lebih baik dirinya membangunkan Rayhan lebih lama sedikit, daripada membuat Rayhan terpaksa bangun. Ketika ia hendak berbalik, tiba-tiba Rayhan angkat bicara.
“Tahajjud bareng, ya.”
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik. Keduanya masih berpandangan seperti itu.
Dan Nadin, langsung merasa bunga-bunga bermekaran di sekitarnya.
***
“Assalamualaykum warahmatullah, assalamualaykum warahmatullah.”
Rayhan mengucap salam, gerak terakhir dalam shalat. Ia mengusap wajah khidmat.
Tahajjud itu.. rasanya adem dan menenangkan. Ketika orang lain masih terlelap tidur dan berselimut mimpi, kita sudah terbangun dan berhias dengan air wudhu serta doa-doa. Its such an amazing relationship between us, and Allah.
Tahajjud itu.. luar biasa. Doa dalam shalat tahajjud diumpamakan seperti anak panah yang tidak pernah luput arahnya (Imam Syafi'i). Doa-doa yang kita panjatkan akan terdengar hingga ke Arsy Allah, memenuhi langit. Pahalanya pun tidak main-main, Maka dari itu, rugilah manusia yang hari-harinya jarang atau bahkan tak pernah diisi tahajjud.
Di belakang Rayhan, Nadin juga tengah memanjatkan doa-doa. Yang Rayhan tidak tahu, mati-matian Nadin menahan isakan tangisnya supaya tidak keluar. Air matanya berderai sedari tadi, semenjak shalat diimami Rayhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterlight
SpiritualBagaimana perasaanmu kalau siswa paling bandel di sekolahmu, ternyata adalah suamimu? Nadina, umur 17 tahun, tahu jawabannya. Bukan dijodohkan, apalagi married by accident. Ia sadar se sadar-sadarnya, dan menerima permintaan orang yang amat berjasa...