Matahari mulai meninggi ketika gerbang SMA Persada dipenuhi oleh siswa berseragam putih abu. Beberapa diantaranya bergerombol, dan terbirit-birit berlari ketika hampir terserempet mobil yang datang mengantar.
Gita berangkat sekolah dengan wajah tertekuk, dongkol. Awas saja kalau bukan Kak Ray, pasti ia sudah marah-marah. Hanya Rayhan yang mampu seenaknya mempermainkan Gita, yang sebelumnya bilang mau menjemput tiba-tiba membatalkan begitu saja. Kalau bukan karena Kak Ray tidak bisa menjemputnya, ia takkan senang dijemput oleh Zaki.
Dan sekarang ini, Zaki menurunkannya dari motor di depan gerbang sekolah. Ia masih saja cemberut, acuh pada Zaki yang tersenyum.
"Belajar yang rajin, ya!"
Gita membuang muka. "Udah sana, parkir!"
Zaki tertawa, lantas melajukan motornya menuju parkiran. Sebelum itu, ia menyempatkan membunyikan klakson motornya saat dilihatnya Aina sedang berdiri di samping Gita, memandangi mereka.
Tiin! "Dah, Ai!"
Aina menegang. Ia baru saja sampai di gerbang dan ia melihat Zaki sedang bersama Gita. Tak bisa ia cegah, ia refleks memandangi mereka. Dan sekarang Zaki menyapanya! Hatinya berdentum tak karuan.
"Udik, minggir lo!"
Seruan Gita menyadarkannya dari lamunan. Ah, benar juga. Ia hanyalah seorang udik. Mau selama apapun ia menatap Zaki, yang ditatap tak akan berpaling kepadanya. Mau sesering apapun Zaki menyapanya, perasaan Zaki selalu milik Gita.
Dan ia, yang akhir-akhir ini dibuat bimbang oleh sikap Zaki kepadanya, pada akhirnya hanya akan menjadi figuran. Itu yang ia camkan dalam hati.
"Hai, Ain!!"
Seruan lain yang tiba-tiba terdengar nyaring di telinganya membuat lamunannya buyar. Dari samping, Nadin berlari menujunya dengan senyum lebar.
"Assalamualaykum..," sapa Nadin. Ia menjawab salam dengan lirih, tersenyum.
Dipandanginya wajah sahabatnya yang notabene baru ia kenal dekat baru-baru ini, lantas ia tersenyum.
Nadin mengajaknya ngobrol, merangkulnya. Mereka menuju kelas bersama-sama.
Dalam hatinya ia sadar, ia masih punya sahabat yang peduli. Baik sekali Allah menghadirkan orang-orang baik itu dalam hidupnya. Ia tak perlu sedih lagi karena penilaian orang lain, sebab itu tak penting.
Ah, biarlah ia menjadi tokoh figuran dalam cerita orang lain. Ia akan tetap menjadi tokoh utama dalam ceritanya sendiri, bersama orang-orang yang menyayanginya, dengan tulus.
Dan cerita indah yang ditulis, dijalani dengan kesyukuran serta akhlak yang cantik, akan selalu menjadi cerita-cerita yang terbaik.
Dan ia, akan menulis kisahnya seperti itu.
***
"Nadin, beneran beli jam tangan itu?" Fita menanyai Nadin setibanya di kelas.
"Nggaklah. Itu punya orang, terus dikasih ke aku,"
Fita ingin bertanya, siapa orang tersebut, namun terpotong karena guru sudah memasuki kelas, bersiap pelajaran.
Sementara di sudut kelas lain, Anton tengah menginterogasi Rayhan perihal adiknya yang cemberut pagi ini.
"Lo nggak nganter Gita tadi pagi, kenapa?"
Rayhan menoleh sekilas. "Kan gue udah bilang, gue sama adik lo bukan mahram."
Anton mendengus. "Sejak kapan lo peduli soal begituan, hah?"
"Sejak tadi."
Anton mati-matian menahan tangannya yang ingin meninju orang di sampingnya itu, ada guru di depan kelas yang siap mengantarnya ke ruang BK jika ia benar melakukannya.
"Emang lo kemana? Kan lo abangnya," tanya Rayhan.
"Gue ada urusan, harus berangkat pagi." Jawab Anton. Rayhan hanya ber-ooh tidak peduli.
"Gue ingetin lo, ya. Lo punya janji untuk selalu ngelindungin Gita, inget janji lo!"
Rayhan menghela nafas.
Hal itu lagi. Alasan itu lagi. Lagi-lagi ia harus terperangkap pada janjinya sendiri yang ia buat beberapa bulan lalu.
Saat itu, ia dan kawan-kawannya, termasuk Anton, tertangkap oleh polisi saat Anton dan beberapa orang lain sedang memakai narkoba. Mereka ditahan di polres semalaman, itu pengalaman terburuk yang pernah ia rasakan.
Ia tahu, beberapa temannya memang pemakai benda terlarang tersebut, namun ia tak bisa mencegah mereka. Sebab setiap orang punya masalah besar di hidup mereka yang tak mungkin bisa ia bantu sepenuhnya.
Anton, memakai narkoba karena perceraian kedua orangtuanya. Dan temannya yang lain, mengonsumsi narkoba karena ibunya pergi dari rumah dengan laki-laki lain. Mungkin mereka pikir, dengan lari pada obat-obatan itu, masalah dalam hidup terasa menghilang. Padahal, justru menambah masalah lain yang makin besar.
Mereka saat itu digelandang ke kantor polisi, diinterogasi. Dibentak-bentak, Rayhan ingat betul.
Dan paginya, orangtuanya datang dalam keadaan syok. Pertama kali dalam hidupnya, ia melihat mamanya menangis karena dirinya. Mamanya menatapnya kecewa. Dan pandangan itu, ia tak akan pernah melupakannya. Tatapan sedih, kecewa, putus asa.
Namun sesedih apapun mamanya, ia beruntung karena orangtuanya masih peduli. Ia dibebaskan sore harinya, setelah terbukti tak bersalah dan bebas narkoba. Semua temannya dijemput oleh orangtuanya, kecuali satu orang. Dan orang itu adalah Anton.
Hanya Anton yang tak dijemput oleh orangtuanya. Bahkan temannya yang ibunya pergi dengan laki-laki lain, hari itu ibunya pulang demi menjemputnya.
Hanya Anton yang sendirian.
Rayhan, tak mungkin membiarkannya sendiri. Dan Anton tau, setelah hari itu, ia takkan kembali ke rumah. Ia akan masuk ke tempat rehabilitasi narkoba.
Hanya ada satu yang dipikirkan Anton, ia tak mungkin meninggalkan adiknya sendirian. Gita.
Maka dari itu ia meminta Rayhan berjanji, untuk melindungi Gita dari apapun. Dan Rayhan menyanggupinya. Ia berjanji untuk selalu ada di samping Gita, melindungi adik temannya tersebut.
Dan janji itulah yang membuatnya terikat dengan Gita tiap saat. Janji itulah yang membuatnya harus bertanggungjawab pada Gita. Karena meski Anton sudah kembali, Gita masih tetap bergantung padanya.
Karena janjinya itulah, ia harus membiarkan Nadin melihatnya bersama Gita. Tanpa pernah mampu ia memberi penjelasan. Bahkan ia membiarkan Nadin tak pernah bertanya. Ia membiarkan Nadin menunggunya bercerita, dan ia tak pernah memberi tahu apapun tentangnya pada Nadin.
Padahal peristiwa itu, sudah ikut merubah hidup Nadin. Karena peristiwa itulah, orangtuanya menikahkan mereka. Karena peristiwa itu juga, Nadin harus terikat dengannya.
Dan ia, merasa bersalah tanpa bisa dijelaskan dengan kata-kata.
***
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterlight
SpiritualBagaimana perasaanmu kalau siswa paling bandel di sekolahmu, ternyata adalah suamimu? Nadina, umur 17 tahun, tahu jawabannya. Bukan dijodohkan, apalagi married by accident. Ia sadar se sadar-sadarnya, dan menerima permintaan orang yang amat berjasa...