"Halo, Nadin."
Hanya itu kata-kata yang tertulis di kertas kecil yang tergeletak di laci meja Nadin. Sebuah bunga mawar merah yang juga terletak di sana dibungkus dengan kertas plastik membuat aroma wanginya tak tercium.
Lagi-lagi Nadin terlambat menyadari hadiah yang ia dapatkan. Sepertinya sudah ada dari pagi tadi, namun ia tak sadar hingga istirahat siang ini saat ia berniat membersihkan laci meja.
Nadin memucat. Ia menggenggam mawar itu erat, hampir gemetar berniat membuangnya ke tempat sampah. Mungkin orang lain akan senang mendapat hadiah seperti itu, namun Nadin justru takut. Ia merasa ngeri melihat warna merah terang dari bunga mawar yang ia dapatkan, mengingatkannya pada traumanya akan darah.
Rania yang menyadari gelagat Nadin buru-buru mendekat. "Ada apa?"
Nadin masih terdiam, membuat Fita yang sedang siap-siap ke masjid untuk shalat duha menjadi penasaran. "Nadin kenapa?"
Tanpa Nadin menjawab, Fita langsung mengecek laci meja Nadin dan terperangah melihat isinya. "Ihhh ngapain lagi ini orangg??" Tak sadar ia menggerutu keras menemukan surat kecil dan mawar itu.
Fita menggerutu sebal, prihatin melihat wajah pucat Nadin. Yang ia tau, Nadin hanya tak suka mendapat kiriman yang sok misterius seperti itu, tapi ia salah. Lebih dari itu, Nadin amat trauma. Ia takut entah pada apa, setelah kejadian yang membuatnya takut dengan darah, Nadin juga sadar bahwa ia menjadi lebih sering khawatir dan gelisah pada orang tak dikenal.
“Kamu nggak papa?” Rania bertanya khawatir. Nadin hanya mengangguk dan memaksakan senyum. Lebih baik sekarang ia shalat duha, dan melupakan mawar merah ini seperti sebelum-sebelumnya.
***
Nadin cs memutuskan untuk tidak pergi ke kantin hari ini. Selepas shalat dhuha, keempatnya duduk-duduk di masjid sekolah sembari berbincang. Nadin merasa hatinya lebih tenang setelah shalat. Memang shalat dhuha itu terbukti ampuh untuk menambah ketenangan hati.
“Kamu udah nggak papa?” Tanya Aina yang baru bergabung. Nadin tersenyum, bilang sudah tidak apa-apa.
Fita menyarankan agar mereka segera menangkap pelaku pengirim surat dan hadiah misterius itu. Dan rencananya, ia akan berangkat besok pagi buta sekali untuk menangkap si pelaku.
“Na, menurutmu fenomena ikhwit itu gimana?” Fita tiba-tiba bertanya, mencari topik pembahasan. Biasanya, mereka akan mengobrolkan fenomena atau tren masa kini. Dan Nadin senang juga, karena teman-temannya memiliki pemikiran yang kritis.
”Ikhwit itu apa?” Aina bertanya, polos.
Fita dan Rania tertawa. “Aina teh polos sekali, kumaha atuh,”
Nadin ikut tertawa. “Ikhwit itu ikhwan genit, Ain,”
Aina mangut-mangut, baru tahu. Ia memang baru akhir-akhir ini masuk rohis, setelah dibujuk oleh Fita.
Mengenai ikhwan genit atau laki-laki yang suka tebar pesona pada perempuan ini, ia jadi teringat Kak Yanuar. Apakah Yanuar termasuk kategori laki-laki seperti itu, atau kemarin-kemarin yanuar hanya sedang iseng saja mengiriminya pesan. Dan ia jadi sadar, sejak peristiwa foto di mading yang lalu, Yanuar tidak pernah lagi mengontaknya.“Menurutku, laki-laki seperti itu cenderung nggak punya komitmen. Dia nggak ingin pacaran, tapi tetap mendekati lawan jenis. Dia ngingetin untuk shalat tahajjud lah, inilah, itulah, tapi ke yang bukan mahram. Gimana, coba?” Nadin angkat bicara. “Kenapa, Fita? Kamu lagi dideketin sama ikhwan?”
Rania langsung terbahak. Dan melihat reaksi Fita yang salah tingkah, sepertinya memang benar. Rania girang sekali mendapat kesempatan untuk mengejek Fita.
Akhir-akhir ini, Fita memang tengah dilanda virus merah jambu. Fakhri, ketua osis SMA Persada orangnya. Mereka satu sekolah sejak SMP, namun bagi Fita, entah kenapa baru sekarang perasaan itu muncul. Dan parahnya, Fakhri jadi sering mengiriminya pesan. Awalnya basa-basi, hingga sampai tengah malam Fakhri menelponnya, bilangnya mengajak shalat tahajjud.
Nadin, Rania, dan Aina langsung tertawa ketika Fita menceritakannya. Seorang Fita ternyata bisa juga tersipu malu seperti sekarang.
“Tapi, kamu bales chat dia, Fit?” Tanya Nadin serius.
“Nggaklah,” jawab Fita. Nadin tersenyum lega. Meskipun Fita ini sangat nyeleneh, namun ia sangat paham syariat agama. Ia paham betul adab bergaul antara lawan jenis.
Awalnya, Fita berat untuk mengabaikan. Terlebih, itu dari orang yang ia suka. Ia masih menjawab hal-hal penting yang Fakhri tanyakan. Namun jika sudah tidak ada urusan lagi, ia buru-buru menyingkir. Ia takut, semakin ia berkomunikasi yang tak perlu dengan Fakhri, semakin dalam rasa sukanya, semakin jauh pula zina hatinya.
Perasaan suka memang tak salah. Ia adalah fitrah yang hadir dalam tiap hati manusia. Namun, yang salah ialah tindakannya. Tindakan-tindakan yang diatas namakan pada rasa suka, seperti pacaran, chatting, itulah yang salah.
Bukankah Allah telah melarang manusia mendekati zina?
Nadin jadi teringat, tadi pagi Kak Rayhan tidak jadi menjemput Gita karena alasan bukan mahram. Ia tersenyum mengingatnya. Saat ini mungkin Kak Rayhan sedang berada di kantin bersama teman-temannya, mungkin juga sedang bersama Gita. Mengingat kemungkinan itu membuat hatinya sebal juga.
“Menurutku, batasan yang mudah untuk interaksi antara lawan jenis itu berdasarkan isi hati dan interaksi yang langsung,” ucap Nadin mengalihkan pikirannya dari Rayhan.
“Gimana, tuh, Na?”
“Misal ya, Ran. Kamu punya teman laki-laki satu organisasi namanya X. Di dunia nyata, kamu dan X biasa saja, nggak ada rasa suka. Berbicara sewajarnya, tertawa sewajarnya juga. Jadi, di dunia maya antara kamu dan dia ketika chatting itu biasa saja. Ketawa ya ketawa asal nggak berlebihan, karena memang di antara kalian nggak ada rasa baper. Jadi, interaksi kalian di dunia nyata dan di dunia maya itu sama,”
Rania mengangguk paham. Ia tau banyak fenomena seperti ini di kalangan teman-temannya, khususnya anak rohis. Di dunia nyata, mereka menjaga batasan dengan lawan jenis, menjaga pandangan, membatasi interaksi berlebihan. Namun di dunia maya, mereka berkomunikasi secara intens. Ada yang menamainya, hubungan tanpa status. Jadi, ghadul bashar yang mereka lakukan di dunia nyata, percuma dilakukan, bukan?
Apalagi jika mereka mengikuti suatu kepanitiaan rohis bersama-sama. Acara yang awalnya berniat ibadah, menjadi salah niatnya karena perasaan suka. Bukankah itu amat sangat disayangkan?
Ah, tapi sudahlah. Siapa kita, yang berhak menilai orang lain.
Bel masuk yang nyaring memotong perbincangan mereka kali ini. Mereka berempat segera menuju kelas masing-masing setelah membereskan mukena dan sajadah.
Nadin bergegas melangkah, takut tertinggal pelajaran selanjutnya. Ia meninggalkan masjid dengan suasana hati lebih ringan.
Tak ia sadari, sedari tadi Yanuar menatapnya dari jauh. Menghela napas, kemudian pergi.
***
Bersambung🤘
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterlight
SpiritualBagaimana perasaanmu kalau siswa paling bandel di sekolahmu, ternyata adalah suamimu? Nadina, umur 17 tahun, tahu jawabannya. Bukan dijodohkan, apalagi married by accident. Ia sadar se sadar-sadarnya, dan menerima permintaan orang yang amat berjasa...