Matahari bersinar teduh saat Nadin dan Aina melintasi jalanan aspal menuju rumah Nadin. Angin sepoi-sepoi berhembus perlahan, membuat ujung khimar yang mereka gunakan melambai berirama. Sore ini, keduanya berencana untuk mengajar ngaji di TPQ dekat rumah Nadin. Rania dan Fita berhalangan ikut karena harus mengerjakan tugas kelompok bersama.
"Nunggu angkot itu berapa lama, Na?" Tanya Aina di sela-sela sesi menunggu mereka di halte.
"Tergantung, Ain. Biasanya kalo lagi beruntung cepet datengnya, tapi kalo lagi lama ya gitu, harus sabar."
Aina mengangguk paham. Ini kali pertamanya ia hendak main ke rumah teman, di luar urusan sekolah. Sebenarnya, sudah lama Nadin ingin mengajak teman-temannya mengunjungi rumahnya, namun terlalu beresiko. Fita pasti langsung bertanya kepo tentang rumah barunya, karena yang ia tau Nadin tinggal bersama tantenya. Namun kali ini, ia mantap mengajak Aina main karena Kak Rayhan sedang menginap di rumah temannya. Ia sudah menyusun rencana, kata-kata apa yang hendak ia sampaikan kepada sahabat-sahabatnya untuk memberi tahu soal tempat tinggalnya sekarang.
Ia berencana memberi tahu tentang statusnya dengan Rayhan kepada tiga cs-nya itu, namun ia rasa saat ini belum tepat. Bisa heboh Fita kalau ia tahu yang sebenarnya. Maka dari itu, ia masih menunggu. Nadin tidak ingin menyembunyikan banyak hal dari sahabatnya. Dan ia ingin jika nanti orang-orang tahu tentang rahasianya, ketiga sahabatnya lebih dulu mengerti.
Ketika Nadin dan Aina sedang asyik membahas TPQ nanti, sebuah mobil sport berwarna merah berhenti tepat di depan halte. Keduanya mendongak, melihat kaca jendela mobil yang turun perlahan.
"Nadin! Ainaa!"
"Gita?" Nadin cukup kaget melihat gadis berambut sebahu itu menjulurkan leher dari dalam mobil dan melihat keluar jendela, demi untuk memanggil mereka berdua. Gita yang berada di kursi penumpang depan keluar menuju halte, diikuti seseorang dari pintu belakang yang ternyata Lala.
Aina bingung harus bersikap seperti apa ketika Gita menyapanya sekali lagi, ia hanya tersenyum simpul. Aina masih kaku jika harus berhadapan dengan Gita, apalagi jika bersama gerombolannya yang lain. Jika mengingat masa beberapa bulan lalu, ia jadi teringat kepada insiden antara dirinya dengan Zaki dan Gita.dan itu membuatnya sulit bersikap santai di hadapan Gita.
"Kalian mau kemana? Lagi nunggu angkot, ya?" Tanya Gita antusias.
"Iya, ini mau ke rumahku," jawab Nadin. "Kalian sendiri, mau kemana?"
Lala menatap Gita, lantas berniat menjawab bahwa keduanya hendak pergi ke bioskop untuk menonton film terbaru, namun urung karena Gita menyela. "Kita cuma lagi muter-muter aja, nih. Nggak mendesak, kok, hehe."
Lala melotot mendengar penuturan Gita. Ia mencebik dalam hati, mengingat film akan dimulai kurang dari dua puluh menit lagi, sementara jarak bioskop cukup jauh dari sini. Namun lagi-lagi ia pasrah, teringat misi baru Gita untuk baik kepada Nadin.
Bagi Lala, jawaban yang Gita karang sangat brilian, seolah tau apa yang hendak ia lakukan. "Kalo gitu, kalian ikut kita aja, yuk. Aku anterin ke rumah kamu, Na,"
Lala tambah melotot mendengar ajakan Gita.
"Eh? Nggak usah, nggak papa kok, Git. Kita naik angkot aja, nggak usah ngerepotin." Nadin menjawab canggung.
"Ya ampun.. angkot di daerah sini itu lama datengnya.. udah, kalian ikut kita aja, yuk! Nggak papa, deh,"
Nadin dan Aina saling berpandangan, merasa sungkan.
"Tapi.."
Gita mencolek bahu Lala, membuat kode untuk ikut membantu membujuk.
Lala menghela napas sebelum akhirnya mengiyakan. "Udah, ikut aja. Jangan nolak rezeki, ga baik, loh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterlight
EspiritualBagaimana perasaanmu kalau siswa paling bandel di sekolahmu, ternyata adalah suamimu? Nadina, umur 17 tahun, tahu jawabannya. Bukan dijodohkan, apalagi married by accident. Ia sadar se sadar-sadarnya, dan menerima permintaan orang yang amat berjasa...