Hari ini langit
Hari ini langit hujan. Kamu belum pulang. Masakanku belum tersentuh, tapi terlanjur sudah dingin.
Sehabis maghrib setelah membaca Alquran, Nadin memakan masakan buatannya. Alhamdulillah enak, pikirnya.
"Kak Rayhan pulang kapan ya?" Ia bertanya pada handphone. Kasihan, udah nikah tapi tetep aja kayak jomblo ngenes.
Ia kadang suka bertanya-tanya, apa yang sebenarnya suka Kak Rayhan lakukan hingga sering pulang terlambat. Padahal ia tau Kak Rayhan tidak banyak tugas, juga tidak mengikuti bimbel apapun karena tak mau. Dan Kak Rayhan sama sekali tak membiarkan Nadin tau apapun tentangnya.
Hari ini langit hitam berawan. Kamu belum pulang. Aku menunggumu sampai malam.
Hari ini langit bersinar bulan. Kamu datang dan tersenyum. Senyummu membuat aku senang.
"Nanti dulu, aku mau ngomong," ucap Rayhan menghentikan langkah Nadin.
Nadin mengerjab-ngerjab. Apa tadi? Rayhan menggunakan sapaan 'aku'?
"Nanti aja," jawab Nadin.
"Nggak. Aku mau ngomong sekarang."
"Ya udah." Nadin memandang Rayhan, menunggu.
"Makasih."
Nadin bertanya-tanya. "Untuk?"
"Untuk ulang tahun paling berharga di hidupku."
Nadin tersenyum. Lebar.
Hari ini langit hujan lagi. Aku pulang tanpa payung. Kamu memelukku yang kedinginan. Aku tersenyum dalam tidur.
Rayhan punya firasat tidak enak bahwa Nadin akan mengambil langkah ceroboh dengan berjalan kaki. Dan ia belum menyadari, firasatnya benar.
Kecipak air di jalanan ia terjang, tak ia hiraukan ujung celananya basah. Suara guntur yang terus bermunculan disertai guyuran hujan membuatnya makin ingin berlari jauh.
Suara adzan mengalun di sela-sela langkahnya. Ia menahan napas, bingung. Ia harus shalat sekarang juga. Tapi ia juga harus menemukan Nadin.
Rayhan menghela nafas. Hatinya diliputi kelegaan luar biasa melihat Nadin di hadapannya, tertidur lelap di tempat tidur. Ia terduduk di kasur, membiarkan euforia kelegaan itu membanjir. Dipandanginya wajah yang tengah terpejam di depannya, sambil berucap syukur dalam hati, karena Allah masih membawakannya Nadin. Membawakan Nadin-nya kembali padanya. Lalu ia memindahkan gadis itu ke kamarnya, berharap panasnya karena basah kuyup segera turun.
Hari ini langit bulan benderang juga. Aku menunggu kamu. Kamu pulang dengan senyuman. Aku senang karena kamu sekarang sering senyum.
Hari ini langit gelap berawan mendung. Untunglah kamu tidak kehujanan. Aku hampir menyusulmu jika kamu tak pulang-pulang.
Hari ini langit cerah. Tapi aku menangis. Kita berdua hampir tersakiti hari ini. Untung kamu tidak apa-apa.
Sebuah pesan yang masuk membuat Rayhan tercengang. Emosinya meluap hanya karena satu pesan itu.
"Brakk!" Ia meninju tiang di sampingnya.
Tangannya mengepal kuat, mencengkram tiang. Buku-buku jarinya memutih.
"Nadin ada sama gue. Kalo lo mau dia balik, selesein urusan kita."
"Kak Rayhan! Kak, Nadin di sini!" Nadin akhirnya berteriak dalam isak. Ia bersuara sekeras mungkin, berusaha agar Rayhan mendengarnya lalu pergi dari sana, meninggalkan perkelahian itu. Ia ingin Rayhan pergi saja, jangan menyakiti diri sendiri.
"Nadin!"
Namun sebelum Rayhan sempat melawan, wajahnya habis oleh pukulan. Ia terjerembab, jatuh ke lantai yang dingin dan kotor.
Nadin, walau tak melihat secara langsung, ia tahu Rayhan terjatuh. Erangan kesakitan Rayhan bersamaan dengan suara debum tubuhnya yang ambruk.
"Kak Rayhan!" Ia menjerit lagi. Sekuat tenaga ia berusaha membuka pintu besi berkarat di ruangannya, bahkan jika bisa ia ingin menembus tembok menuju ruangan di sebelahnya. Tapi sayang, tenaganya kalah oleh pintu yang berat itu.
"Ya Allah, tolong!" Ia berusaha lagi. Air mata di pipinya bercucuran mendengar Rayhan memanggilnya lagi dari sana.
Hari ini langit berbintang. Kita berdua tidak banyak bicara. Tapi hari ini kita sudah saling tersenyum dan aku lega.
Rayhan menghela nafas. Mengungkapkan isi hati selalu sulit baginya.
"Kapan kita akan kembali seperti dulu?"
"Maksudnya?"
"Nanti malem, tolong bangunin shalat tahajjud, ya."
Nadin tersenyum, mengangguk.
"Iya. InsyaAllah."
Hari ini langit benderang. Kamu pulang membawa luka. Aku lupa bilang, harusnya dibuat peraturan agar tidak membawa amarah ke dalam rumah.
"Sebenarnya Kak Rayhan kenapa?"
Nadin bertanya lemah, menyambut Rayhan yang langsung melempar tas begitu masuk rumah."Udah shalat maghrib?"
Sekesal apapun Nadin, ia lebih mendahulukan perhatian."Udah makan, belum?"
Rayhan yang hendak masuk kamar berbalik. "Aku udah tau hubungan kamu sama Yanuar, Na. Jangan sok baik."
Nadin mengernyit. "Maksudnya?"
"Mawar merah itu dari Yanuar, kan? Kamu juga ngasih hadiah untuk dia, kan?"
"Hah?" Nadin bertanya bingung. Mawar merah?
Otaknya berpikir cepat. Apa jangan-jangan, Rayhan mengira bunga mawar merah di tempat sampah itu dari Yanuar?
"Kak Rayhan salah sangka!"
Hari ini langit benderang lagi. Sekarang jarang hujan. Aku rindu hujan, tapi aku lebih rindu kamu.
Hari ini langit gelap tanpa bintang. Tapi ada bulannya. Tapi kamunya pergi dengan dia. Aku menunggu di sini sambil menonton televisi. Aku menunggu sambil menghabiskan tisu untuk menyeka air mata.
Nadin menatap nanar sebuah foto di instagram. Di foto itu, Gita menyandarkan kepala pada Rayhan. Dari latar belakang foto itu, sepertinya keduanya sedang berada di tengah jalanan kota.
Nadin berganti menatap tivi. Ia mengerjapkan matanya yang terasa berat, dan setetes air mata jatuh. Ternyata, sesakit ini.
"Itu urusan aku, karena aku istri Kak Rayhan!" Nadin berujar sedikit gemetar, dengan sisa tenaga untuk bersuara.
Rayhan tertawa. "Oh ya? Istri apa yang suaminya pergi, nggak khawatir sama sekali?"
Kak.
Aku ingin bilang, aku selalu khawatir padamu. Setiap hari aku ingat, bagaimana cuacanya, apa kamu bawa jas hujan, apa kamu akan kepanasan, semua aku pikirkan.Aku ingin bilang, aku selalu khawatir padamu.
Setiap saat aku bertanya, apa kamu sudah shalat, apa kamu sudah makan, kamu sekarang di mana, kamu kapan pulangnya.Kak.
Aku minta maaf belum bisa jadi yang terbaik untukmu. Aku masih diriku, banyak kurangnya. Sudah kupantas-pantaskan agar aku baik di sampingmu, tapi ternyata masih kurang juga. Aku minta maaf, ya.Aku minta maaf belum bisa jadi sesuai harapanmu. Aku masih begini saja. Aku bukan apa-apa untukmu. Maaf jika selama ini aku memberatkan, membebanimu.
Aku minta maaf, ya.
"Maaf. Aku udah pernah bilang..
....kita gak seharusnya menikah."
Mungkin benar kata kamu. Kita seharusnya tidak pernah bersama. Jadi, aku mau pergi biar hatimu lega. Biar aku juga jadi dewasa.
Hari ini langit cerah.
Aku mau pergi, selamat tinggal.Nadin, dalam senyum dan air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterlight
EspiritualBagaimana perasaanmu kalau siswa paling bandel di sekolahmu, ternyata adalah suamimu? Nadina, umur 17 tahun, tahu jawabannya. Bukan dijodohkan, apalagi married by accident. Ia sadar se sadar-sadarnya, dan menerima permintaan orang yang amat berjasa...