Perjalanan panjang, kereta menuju kota seberang.
Seorang gadis duduk termangu di bangku kereta. Matanya menerawang jauh, memandang pemandangan bergerak di hadapannya. Melalui jendela, ia lihat hijau sejauh mata memandang. Bukit-bukit dan sawah luas membuatnya seperti menatap lukisan.
Indah.
Gadis itu, tak lain adalah tokoh utama cerita kita. Nadin yang sedang berlari pergi dari keping hatinya.
Ia menghela nafas untuk yang kesekian kali, membuang sesak di hati. Entah kenapa, seolah dunia tahu ia sedang patah hati, jadi serasa mendukung.
Ternyata tempat duduknya ada di pojok gerbong, dan kereta kelas ekonomi ini entah kenapa sedang sepi. Hanya ada Nadin sendiri, di deretan kursinya.
Baiklah, Nadin sendirian lagi.
Padahal sudah menikah, tapi rasanya jomblo aja. Ia menertawai diri.
Dan sedetik kemudian, rasa hampa menyelimutinya. Ia jadi teringat Kak Rayhan, orang yang ia tinggalkan.
Ponselnya sedari tadi berdering, namun Nadin biarkan. Ada belasan panggilan tak terjawab dari Fita, Rania, dan Aina.
Ia meringis. Maaf, ya.
Nadin sedang tak ingin bicara pada siapapun. Toh nanti, pesannya pasti akan datang sendiri. Ia memesan go-send untuk mengantarkan sebuah pesan kepada sahabat-sahabatnya. Lucu, ya?
Nadin menatap layar handphone, lalu membuka memo.
Imajinasinya berpetualang. Rasa sakit di hati, sesak yang menyelimuti, ia ubah menjadi kata-kata.
Tentang Kak Rayhan, ia menulis.
Perjalanan
Kamu bagiku adalah muara
Dari seluruh perasaan yang mengembara
Mencari makna, membangkitkan asaKamu bagiku adalah lautan
Luapan perasaan
Sedari dulu hingga kini, birunya dirimu masih sama
KelamKamu bagiku adalah rumah
Untuk berteduh, untuk bernaung
Aku memutuskan menjadikanmu pemiliknya
Untuk aku berhenti di sana,
Bersamamu selamanyaApakah harapanku terlalu tinggi?
Mungkinkah terlalu jauh?Padahal aku percaya dengan kata itu,
Harapan.
Doaku membawamu berjalan
Doaku membuatku bertahanTapi pada kenyataannya
Kamu bagiku adalah luapan hati yang rindu
Sedangkan aku masih raguSebenarnya..
Bagimu aku ini apa?
Aku ini..
Apa artinya untukmu?Hhh. Nadin menghela nafas.
Perjalanan masih panjang, dan luka hatinya masih menggenang.
Ia mau tidur saja.
***
"Astaghfirullah.. Nadin bolos lagi?" Fita berkacak pinggang, menatap ponselnya geram.
"Bisa aja dia sakit.. atau kenapa-kenapa. Telfon lagi, coba,"
"Ini udah panggilan kedua puluh tujuh. Mau berapa lagi? Kalau udah gini, tandanya Nadin emang lagi gak mau diganggu."
Rania menghela nafas. Betul juga. Nadin kalau sudah memutuskan sesuatu, tak bisa dicegah lagi. Dan ia tau, kali ini pasti ada sesuatu. Sudah cukup jelas semalam ia mendengar Nadin menangis.

KAMU SEDANG MEMBACA
Afterlight
EspiritualBagaimana perasaanmu kalau siswa paling bandel di sekolahmu, ternyata adalah suamimu? Nadina, umur 17 tahun, tahu jawabannya. Bukan dijodohkan, apalagi married by accident. Ia sadar se sadar-sadarnya, dan menerima permintaan orang yang amat berjasa...