Cella POV
Setiap kali teringat kisah itu, aku malu dengan perasaan yang tentu saja membuatku sangat tidak nyaman, tapi tidak dengan dia. Seorang wanita paruh baya yang tengah sibuk mengarahkan setrika listrik di setiap helai pakaian di depannya.
Sore itu aku bersenda gurau layaknya anak dengan orangtuanya. Maklum, sudah lima tahun keluargaku pincang tanpa kehadiran seorang papa. Walau sangat terlihat tapi mama selalu saja tersenyum sambil berkata dengan penuh semangat, "Mama adalah mama sekaligus papa kalian. Gak usah mikirin dia lagi."
Aku tertegun melihat dan mengingat semua semangat yang dipamerkan mama. Seolah tidak ada yang perlu di takutkan jika keluarga kami bertahan tanpa sosok "dia", Papa yang pergi tanpa kabar dan meninggalkan tanggung jawabnya sampai sekarang. Kurang lebih sudah berjalan tujuh tahun. Aah, yang benar saja, aku yakin aku pun mulai lupa dengan detail wajahnya.
Hari ini aku pulang dengan wajah ditekuk dan mengabaikan beberapa pasang mata ketika aku masuk dengan langkah goyah.
Mama mengerutkan keningnya, "Kamu kenapa? Sakit? Berantem?"
Aku hanya menggeleng pelan sambil berlalu menuju kamar. Aku membenamkan wajah di kasur, tidak lupa dengan bantalnya lalu aku pun berteriak sejadi-jadinya. Mataku memerah, kepalaku agak berat dan tanpa sadar aku tertidur lelap dengan posisi masih sama seperti saat aku mencurahkan isi hatiku tadi.
Hari ini aku mendapatkan pesan di sosial mediaku dari seseorang yang tidak ku kenal, tapi dia mengaku mengenalku. Aku mengambil ponselku dan membuka kembali chat dari orang itu. Foto prosesi ijab kabul terpampang jelas di pesan itu.
"Ciiih!!" Aku muak melihatnya dan aku membanting ponselku ke kasur dan lagi-lagi aku terlelap.
🐾🐾🐾🐾
"Cell, Mama mau ngomong," panggil mama ketika makan malam sederhana ini sudah selesai.
Aku pun mengangguk dan menghampirinya.
Mama menceritakan segala yang belum ku ketahui dan ia sudah mengetahui isi pesan di sosial mediaku karena melihat ponselku yang tergeletak dan belum keluar dari aplikasi tersebut.
Awal menikah dengan Papa, Mama menceritakan pengorbanannya. Ketika papa dengan egonya tidak mau membantu merawatku yang waktu itu baru berusia satu setengah bulan sehingga mau tidak mau, rela tidak rela, mama melepaskan jabatannya dan mundur dari pekerjaannya yang saat itu sudah mencapai titik terang di usianya yang masih muda, sekitar umur dua puluh enam tahun. Mama dihadapkan dengan pilihan yang menurutku berat, karier atau anak? Tentu saja tanpa memikirkan hal lain mama memilih mundur dari pekerjaannya dan mengurusiku di rumah. Hal itu menjadi awal kehancuran dari karier mama dan membuat cita-citanya yang hendak tergenggam menjauh dan terlepas.
Sementara papa adalah seorang pengangguran yang dengan gengsi besarnya tidak mau di rumah untuk mengurus anak saja sehingga dia memilih membuang badan di pagi hari dan pulang larut malam tanpa hasil yang jelas. Kondisi itu memaksa mama menjual satu per satu harta yang sudah diraih dengan jerih payahnya sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Mama mengakhiri ceritanya dengan tersenyum, tidak ada raut sedih terpancar di mukanya. Dia mengatakan apapun yang dia korbankan dulu bukanlah sebuah penyesalan, itu adalah anugerah karena melihat anaknya yang tumbuh dengan pintar dan membanggakan itu adalah sebuah hasil dari pengorbanannya beberapa puluh tahun silam.
Berbagai perasaan kini menghampiriku. Sedih, senang, bangga, marah bercampur menjadi satu. Tapi lagi-lagi sosok yang mendamaikan hatiku meyakinkanku kalau aku ini adalah sebuah anugerah besar dari sebuah pengorbanan yang besar. Bagiku pengorbanan orangtua untuk anaknya adalah sebuah pengorbanan yang sangat manis, sangat tulus tanpa embel-embel mengharap balasan. Seperti pengorbanan mama yang tetap tegar walaupun berkali-kali disakiti oleh seseorang yang kala itu menyandang status sebagai suaminya. Pengorbanan melepas cita-citanya dan kariernya demi buah hatinya. Aah sungguh manis bukan?
Kini aku tengah berpelukan dengan wanita paruh baya yang kupanggil mama. Saling mendekap dalam hening tanpa suara. Wajah kami sama-sama terpejam menikmati sentuhan angin yang sepoi-sepoi membelai wajah kami. Sinar jingga tampak semangat memberi kehangatan saat melihat kami saling mengeratkan satu sama lain. Tanpa sadar bulir air menetes perlahan dari sudut mata kami masing-masing dan bibir kami membuat garis tipis agak naik. Ya, kala itu senja. Dalam keheningan kami berpelukan hangat, menangis dan tersenyum dalam diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senyum untuk Kejora (COMPLETED)
General FictionAku layaknya bintang di pagi hari Ada, tapi tak terasa Nyata, tapi tak tergapai Walau setia menemani sang fajar, tetap saja terabaikan Jika hadirku tak mencipta suka, Akankah kepergianku menghadirkan duka?