Konsekuensi

107 40 1
                                    

LIMA TAHUN YANG LALU

"Cell, entar kalo gue kode peka please!!!" seru Gisha dengan puppy eyesnya.

"Hmm, santai," sahut Cella sambil tersenyum.

"Cell, gue juga ya?" cengir Fanny.

"Iya Cell please yaa gue gak mau remed nih," sahut Dilla sambil memasang wajah memelas.

Cella mengangguk sambil tersenyum. Ulangan pun berjalan dengan Cella yang sibuk menangkap sinyal-sinyal kode dari teman-temannya.

Cella memang menguasai semua mata pelajaran di SMA, kecuali Bahasa Inggris. Baginya pelajaran yang diberikan mampu ia terima sehingga dalam tugas maupun ulangan Cella merasa mampu mengerjakannya. Jangan mengira Cella tipikal murid pintar yang pamer kepintaran. Ia melakukannya semata hanya agar teman-teman sekelasnya mendapatkan nilai bagus dan akhirnya mengerti pelajaran tersebut. Tak jarang teman-temannya menyalin hasil tugas rumahnya. Cella dengan senang hati membaginya karena menurutnya dengan ada niatan untuk mengerjakan tugas walaupun menyalin setidaknya mereka masih mempunyai niat. Ya, anggaplah Cella bodoh dan klise.

Hari demi hari berlalu. Semenjak kenaikan di kelas tiga, teman-teman Cella semakin banyak. Cella pun ditunjuk sebagai ketua kelas. Mungkin karena kepintaran dan kebaikan hatinya yang bersedia mengajarkan atau memberi jawaban yang membuat Cella dikelilingi orang-orang itu. Tapi Cella menampik jauh-jauh pemikiran itu. Baginya, saat ini ia sangat membutuhkan kehadiran teman-teman di sekitarnya mengingat kondisi keluarganya yang selalu membuatnya merasa tertekan.

"Cell, kalo udahan bagi ya?" ucap Fanny.

"Iya Fan, selow nanti gue kasih," balas Cella sambil sibuk mengerjakan tugas matematikanya yang menumpuk.

Selama menjadi ketua kelas Cella selalu disibukkan dengan perilaku teman-teman sekelasnya yang membuat guru-guru pun marah dan akhirnya tidak mau mengajar di kelasnya.

"Gila gak abis pikir gue, udah pada gede masih aja kelakuan kayak bocah," sungut Cella pada Fanny.

Kali ini kelasnya bermasalah dengan guru Ekonomi killer yang mengancam tidak akan pernah memasuki kelasnya lagi.

"Lah terus ini lo mau kemana?" tanya Fanny sambil memainkan ponselnya.

"Mau bujuk Bu Sinta lah. Tau sendiri kan dia tuh kalo ngomel bakal ngambek terus gak masuk kelas deh. Entar di ruang guru dia bakal ngasih tau ke guru-guru lain. Kasian gue sama Bu Ana jadi wali kelas kita. Batin banget pasti," balas Cella masih dengan nada kesalnya.

"Yah jangan dong, gapapa kali gak masuk kelas dia mah. Entar baper lagi dia kalo masuk," usul Fanny.

Cella nampak berpikir, akhirnya ia menanyakan ke anak-anak di kelasnya.

"Eh semuanya, menurut kalian mending gue panggil Bu Sinta apa enggak?" tanya Cella di dekat papan tulis.

"Jangan ah Cell!" seru Adian.

"Gak usah gak usah." Valdo menimpali.

Ya sebagian besar teman sekelasnya menolak. Tapi ada juga yang hanya diam tidak menjawab. Ah, Cella benar-benar bingung harus bagaimana.

Akhirnya Cella berdalih ingin pergi ke toilet.

Cella pun tidak masuk ke toilet melainkan meneruskan langkahnya menuju ruang guru.

Benar saja sesampainya di ruang guru Cella mendengar Bu Sinta sedang mengeluh tentang anak-anak di kelasnya.

"Assalamualaikum," ucap Cella saat sudah berada di depan meja Bu Sinta.

"Waalaikumsalam, ada apa?" Bu Sinta menyahutinya dengan muka datarnya.

Cella menelan salivanya. Sungguh ia paling malas harus berakting seperti ini.

"Bu, maafin kelas kami ya Bu. Ibu mau ya masuk ke kelas lagi," pinta Cella yang masih berdiri.

"Loh bukannya kalian malah seneng kalo Ibu gak ngajar? Emang pada butuh belajar sama Ibu?" tanya Bu Sinta dengan nada sinis.

"Eh, bukannya begitu, Bu. Duh gimana ya? Saya juga bingung nih, Bu. Tapi kan gak semua anak-anaknya bandel, Bu," jelas Cella.

"Konsekuensinya apa kalo misal nanti saya masuk mereka gak ganggu dan bakal serius belajar?" Kini Bu Sinta bertanya tanpa mengubah nada dinginnya. Sepertinya dia sudah malas memberikan kesempatan pada kelas yang selalu bermasalah.

Cella mengernyitkan dahinya. Gurunya meminta konsekuensi? Yang benar saja. Ayolah, Cella hanya tidak mau nilainya jelek karena ulah teman-teman sekelasnya. Ditambah pandangan guru-guru lain yang semakin menilai kelasnya buruk.

"Nilai kamu saya kurangi, gimana?" tanya Bu Sinta tiba-tiba.

"Eh? Loh kok jadi nilai saya Bu?" balas Cella dengan nada tidak terima.

"Kamu yang datang kesini berarti kamu yang mau tanggung jawab," ucap Bu Sinta acuh.

Cella terdiam. Ia sudah sangat amat menahan kesalnya sampai-sampai air matanya ingin keluar. Ia tak habis pikir kenapa jadi ia yang harus bertanggung jawab hanya karena dirinya adalah ketua kelas.

Guru-guru yang berada di ruangan itu mengalihkan fokusnya ke Cella. Tapi mereka semua seakan mengiyakan keluhan Bu Sinta tentang kenakalan kelas Cella.

Cella muak dengan drama ini dan ingin segera mengakhirinya.

"Iya, Bu. Konsekuensinya nilai saya dikurangin gapapa yang penting Ibu tetep ngajar di kelas kami. Sekali lagi saya atasnama kelas minta maaf ya, Bu." Cella berujar dengan nada datarnya emosinya semakin memuncak.

"Guru-guru disini jadi saksi ya. Jadi kalo misal besok kelas kamu berulah konsekuensinya kamu tau," balas Bu Sinta.

Cella mengangguk dan Bu Sinta mempersilakan Cella untuk kembali ke kelas.

Cella pun keluar dari ruangan itu dengan muka yang merah dan tangan mengepal.

"Sial!" pekiknya.

Senyum untuk Kejora (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang