Cella duduk di bangku taman dekat rumahnya. Ia menikmati semilir angin pagi sambil memakai earphone. Kebiasaan Cella yang tidak dapat ia lepaskan.
Sesekali ia mengganti lagu yang sesuai dengan moodnya. Raut wajahnya datar namun jika diteliti sorot matanya menyiratkan kesedihan.
Dua jam berlalu, gadis itu menyadari perubahan cuaca yang menandakan sebentar lagi akan turun hujan. Namun dirinya enggan untuk beranjak, baginya suasana dan lagu yang sedang berputar sangat berpihak padanya.
Tes... Tes... Rintik hujan yang turun semakin banyak. Cella buru-buru melepas earphone dan menaruhnya di kantong celananya, lalu ia kembali menatap jalanan yang disiram air hujan.
.
.
.
Rakha menatap jalanan yang sangat padat, "Ck, gue telat banget ini." Berulang kali ia menekan tombol untuk memanggil seseorang namun tidak kunjung terhubung.
"Jangan - jangan dia marah karena gue telat banget?" Tanpa berpikir lagi, ia segera memarkirkan mobilnya ke salah satu tempat makan dan mengambil payung. Lalu bergegas meninggalkan mobilnya.
Rakha menyipitkan matanya saat melihat seseorang duduk di bangku taman dan membiarkan dirinya kehujanan. "Itu cewek ngapain?" Rakha menepis rasa penasarannya, ia segera melanjutkan jalannya untuk segera bertemu seseorang yang sudah menunggu dirinya sedari tadi. "Tapi itu tadi kok mirip...."
.
.
.
.
"Hai hujan, jangan pergi dulu ya." Cella tersenyum sembari menengadah ke atas. Membiarkan bulir-bulir hujan membasahi wajahnya.
Ia teringat masa disaat kepercayaannya runtuh kepada teman-temannya. Masa yang membuat dirinya merasakan kembali rasa sakit di hatinya. Kala itu hujan juga menemani dirinya.
"Habis itu hati aku ternyata sakit beneran." Gadis itu mengingat vonis dokter tentang penyakitnya.
"Dan hari ini aku juga lagi sakit hati loh, kali ini sakitnya banget." Gadis itu tersenyum.
"Makasih ya, aku seneng seenggaknya ada kamu yang nemenin aku di saat hati aku sakit."
"Kamu tau kan apa yang aku rasain? Sampe-sampe aku bingung mau ceritanya gimana."
"Haha.. Gak ada juga sih yang bakal dengerin."
"Pokoknya hujan jangan berhenti dulu ya, aku masih sedih."
Gadis itu terdiam, pundaknya terlihat bergetar, detik berikutnya ia mulai mengeluarkan suara sesenggukan.
"Aaaakkkhhhh!!!"
"Hiks... Hiks.. Huaaa!!!"
"Kenapa Tuhan? Kenapa??"
"Ini semua karena siapa? Salah siapa? Hiks... Aku selalu jadi anak yang baik..."
"Kenapa papa pergi?"
"Kenapa harus aku yang punya penyakit ini?"
"Kenapa aku yang harus ditinggalin semua orang? Disaat aku butuh mereka buat nguatin aku?"
"Dari semua anak kenapa harus aku, Tuhan?? Kenapa?"
Cella menangis dan meraung melepas rasa yang selama ini ia pendam dan ia sembunyikan di depan semua orang.
"Ambil Tuhan, jangan biarin aku ngerasain sakit di dunia ini lagi. Dunia ini gak butuh kehadiran aku, gak ada yang peduli juga."
"Aku mohon Tuhan, aku udah gak kuat sama..."
Tiba-tiba ucapannya terhenti saat ada yang memeluk dirinya dari belakang.
Tangis Cella semakin pecah, "Lepasin gue! Pergi lo!!" teriak Cella.
"Cell, jangan gini," ucap orang itu sambil mengeratkan dekapannya.
"Pergi Rak, entar lo kesamber petir," lirih Cella.
"Jangan becanda, gak lucu!" seru Rakha.
"Gue serius!! Pergi sana!" teriak Cella sambil melepas paksa pelukan itu.
"Gue sakit juga saat denger semua ucapan lo tadi, semuanya!" ucap Rakha pelan.
Cella hanya menatapnya dengan ekspresi datar.
"Jangan pernah ngerasa sendirian, ada nyokap lo dan juga gue. Inget itu!" seru Rakha sambil tetap menatap mata Cella.
"Jangan pernah minta Tuhan buat ambil nyawa lo," lanjutnya.
"Gue beneran sayang sama lo Cell, kenapa lo gak percaya sama semua itu?"
Air mata Cella perlahan menetes namun ekspresi wajahnya tetap datar.
Rakha mengarahkan tangan Cella untuk memegang dadanya, "Selalu kayak gini tiap kali gue deket sama lo."
"Cerita apapun ke gue, Cell. Lo bisa anggep gue hujan jadi lo bisa cerita dan nangis sesuka lo. Gak usah jadi Cella yang kuat kalo di depan gue."
Cella memasang wajah datarnya sedari tadi saat mendengar perkataan Rakha, ia tidak mau membuat semua menjadi rumit.
"Cell.."
"...."
"I love you, would you be my girlfriend?" Rakha menggenggam kedua tangan Cella.
Raut wajah Cella semakin datar, dia benci dengan apa yang telah terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senyum untuk Kejora (COMPLETED)
General FictionAku layaknya bintang di pagi hari Ada, tapi tak terasa Nyata, tapi tak tergapai Walau setia menemani sang fajar, tetap saja terabaikan Jika hadirku tak mencipta suka, Akankah kepergianku menghadirkan duka?