Dia Datang

78 22 0
                                    

Cella tengah mencari inspirasi untuk menyelesaikan novelnya, ia ingin segera menyelesaikannya sebelum deadline. Matanya tertegun melihat salah satu postingan di sosial medianya.

"Happy birthday kesayangan!! Wish you all the best!"

"Aaah... Kalian curang ih, mainnya nge prank!"

Semua tertawa lepas bahkan ada yang menempelkan krim dari kue tart.

Cella melirik jam di ponselnya yang menunjukkan pukul dua belas lewat dua menit, dini hari.

"Jangan lebay, Cell. Setiap tahun kayak gini kan?" batin Cella.

Pikirannya menerawang mengingat kembali setiap momen saat hari ulang tahunnya.

Ia hanya mengingat ulang tahunnya saat berumur sebelas tahun. Saat itu teman-teman sekelasnya mengucapkan selamat ulang tahun dan beberapa memberikan hadiah.

Cella bergumam pelan, "Yang gue butuhin cuma ucapan selamat ulang tahun dari keluarga dan temen gue. Seenggaknya mereka inget hal itu."

Cella mengusir rasa sedihnya dengan segera menuju ke alam mimpinya. Setidaknya disana Cella selalu merasa senang.

.

.

.

.

Cella terbangun saat mendengar suara berisik. Ia melihat jam dinding menujukkan pukul sembilan pagi. Ingatannya berputar saat dirinya masih tinggal bersama kedua orangtuanya. Seringkali Cella terbangun dan berpura-pura memejamkan matanya saat mendengar orangtuanya bertengkar keras.

"Ada apaan sih? Berisik banget!" gerutu Cella sambil bergerak merapikan tempat tidurnya asal. Setelah selesai ia segera keluar dari kamarnya.

DEG!

Pemandangan di depannya berhasil membuang rasa kantuk gadis itu, matanya kini membulat. Kepingan-kepingan memori kembali berputar di benaknya.

"Saya gak akan kasih itu apapun alasannya!" teriak Nova.

Teriakan Nova menyadarkan Cella yang sedari tadi mematung.

"Kurang ajar ya kamu! Jangan banyak mulut, mau saya pukul kamu?" bentak pria yang kehadirannya saja tidak diharapkan oleh siapapun disini.

Cella melangkah mendekati Nova, ibundanya yang kini terlihat sangat emosi. Tanpa melihat ke arah pria itu.

"Kenapa ma?" tanya Cella dengan raut wajahnya yang datar.

"Cepat mana sini surat-suratnya!!" bentak pria itu lagi.

"Pergi," ucap Cella dengan nada dingin tanpa memandang wajah pria itu.

"Gak usah ikut campur kamu. Ini urusan papa kamu dan mama kamu!" Izra membalas ucapan Cella.

Izra, ayah kandung Cella yang telah pergi tanpa kabar selama bertahun-tahun. Melepas tanggung jawabnya sebagai orangtua, sebagai kepala keluarga. Sehingga Nova dan Cella harus berjuang berdua untuk bangkit menata dan menjalani kehidupannya.

"Pergi," ucap Cella kembali tanpa memandang wajah Izra.

"Jadi ini hasil didikan kamu? Gak ada sopan santunnya sama orangtuanya." Izra menatap remeh Nova.

Emosi Cella memuncak. Ia segera menghampiri pria yang telah membuat keributan di hari ulang tahunnya.

"Pergi!!" Cella menunjuk pintu rumah, kali ini suara Cella meninggi.

"Jangan kurang ajar kamu sama papa!" bentak Izra.

"Papa saya sudah mati. Pergi!" Cella menatap tajam pria dihadapannya, raut wajahnya semakin dingin.

Plak!!

"Anak gak tau diuntung!" bentak Izra setelah menampar pipi Cella dengan kencang.

Nova terkejut dan segera berlari menghampiri Cella. "Beraninya kamu sentuh Cella dengan tangan kotor itu!" bentak Nova.

Sementara Cella diam tidak bergeming.

"Cepat mana suratnya? Apa perlu saya obrak-abrik tempat ini?" tanya Izra dengan nada yang sangat tinggi.

Baru saja Izra mendorong bahu Nova untuk menerobos masuk, langkahnya terhenti saat ada tangan yang memegang tangannya dengan keras.

"Berani anda gerak, saya akan panggil warga dan laporkan apa yang telah terjadi!" Cella berbicara tanpa membalikkan tubuhnya. Pandangannya masih lurus menatap tajam ke depan.

Izra menghempas tangan Cella namun tak berhasil, "Lepas! Brengsek!" umpatnya.

Cella tidak bergeming ia menahan tangan itu sekuat tenaga. Sampai tiba-tiba kepalanya terasa sangat sakit.

Saat itu Izra yang emosi mengangkat sebuah vas bunga berukuran sedang yang ada dihadapannya. Tanpa pikir panjang ia memukul kepala Cella dengan vas bunga itu. Alhasil tangan Cella terlepas dari tangan lelaki itu.

"Jangan kurang ajar jadi anak!" bentak Izra lalu menerobos masuk ke kamar.

Sementara Nova berteriak histeris saat melihat perbuatan Izra terhadap anaknya. Nova menangis sambil memeluk Cella erat.

"Ma, Cella gapapa. Ayo kita usir orang itu. Mama cari bantuan di luar cepetan!" perintah Cella sambil menenangkan mamanya.

Nova mengangguk dan segera keluar rumah. Sementara Cella menghampiri Izra.

.

.

.

"Sialan!! Dimana dia simpan semua?" umpat Izra sambil mengacak-acak dalam kamar.

Cella berjalan mendekati Izra. Gadis itu memasang raut wajah datar dan tatapan tajamnya. Sementara darah mengalir di kepalanya karena benturan tadi.

"Pergi!" bentak Cella sambil mengacungkan sesuatu di depannya.

Izra membulatkan matanya saat melihat benda yang dibawa oleh anaknya itu.

"Jangan macam-macam kamu! Jangan durhaka!" peringat Izra.

"Satu," ucap Cella

"Kamu gak akan berani silakan ancam papa," Izra tertawa meremehkan.

"Dua," ucap Cella sambil mendekat.

Kini jarak mereka berdua begitu dekat. Cella sangat muak melihat sosok di hadapannya kini.

"Papa gak salah tinggalin kalian berdua. Buat apa ngurusin kalian yang ada buang-buang waktu dan uang!" seru Izra.

"Saya gak punya papa dan saya gak main-main dengan ucapan saya. Setelah hitungan ketiga saya akan membuat anda menyesal telah datang kesini!" balas Cella tanpa mengubah ekspresinya.

Izra melihat sebuah amplop di tumpukan meja rias. Cella yang menyadari arah pandang Izra segera berlari untuk menyelamatkan dokumen itu.

"Kasih itu ke papa!" bentak Izra.

"Saya gak punya papa. Anda tuli?" Kali ini Cella tersenyum miring menatap Izra.

"Saya gak punya waktu buat ngeladenin drama kalian." Dengan segera Izra merebut amplop di tangan Cella, namun Cella tetap memegangnya dengan keras.

"Tiga!" seru Cella sambil memajukan pisau di tangannya. Benda yang digunakannya untuk mengancam Izra.

"Asshh... Brengsek kamu!" pekik Izra saat tangannya tergores pisau.

Keduanya saling merebut dengan jarak yang begitu dekat. Izra semakin emosi saat melihat Cella yang tidak main-main dengan ucapannya. Tangannya beralih untuk merebut pisau itu, Cella semakin mendekatkan pisau itu di perut Izra. Keduanya sama-sama mengerahkan kekuatannya sampai.....

"Ini dia pak orang yang mengganggu saya dan anak sa..." ucapan Nova terhenti, seketika matanya terbelalak saat melihat apa yang tengah terjadi di hadapannya.

Senyum untuk Kejora (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang