Rakha duduk di bangku taman sambil berusaha menetralkan emosinya. Ia membuang napasnya kasar lalu memandang langit malam tanpa ada bintang.
Pikirannya menerawang mengingat perkataan Bella. Dirinya peduli dengan Cella karena ia merasa Cella tidak seburuk yang mereka kira. Dulu memang dirinya mengabaikan Cella karena perempuan itu tidak suka didekati. Tatapannya dingin dan ekpresinya yang datar membuat semua orang malas mengajaknya bicara. Ditambah dengan sikap acuhnya yang tidak pernah berniat untuk membaur dengan teman-teman. Tapi semakin lama Rakha berteman dengan Cella, semakin dirinya menyadari bahwa Cella tengah menutupi suatu hal. Dirinya tidak seburuk yang diperkirakan. Ia hanya seperti sedang memakai topeng dihadapan orang lain.
Dirinya teringat dengan ponsel Cella yang masih berada di sakunya. Ponsel itu diberikan oleh dokter yang menangani Cella agar ia segera memberikan kabar kepada keluarga Cella. Namun dirinya tadi begitu cemas dan sempat terjadi adu mulut dengan Bella sehingga ia lupa untuk mengecek ponsel itu.
Rakha bersyukur karena ponsel Cella tidak dikunci dengan sandi. Ia segera membuka daftar kontak di ponsel itu dan mengetik kata "Mama" namun hasil tidak ditemukan. Kali ini dia ketik "Papa" namun hasil juga sama, tidak ditemukan.
Akhirnya ia memilih untuk menggulir satu per satu. Dahinya mengernyit karena tidak menemukan kontak yang dicari.
Sekarang bagaimana ia bisa menemukan kontak keluarga gadis itu?
Rakha segera membuka chat di ponsel itu. Sebagian besar hanya membahas tentang pekerjaan. Rakha mengernyitkan dahinya. Bagaimana bisa seseorang tidak menyimpan kontak dari anggota keluarganya? Bahkan isi pesan di ponselnya hanya membahas tentang pekerjaan, tidak ada bahasan pribadi disana. Tidak ada pesan dari keluarga ataupun teman? Bagaimana sebenarnya kehidupan gadis ini? Kini pikiran Rakha tentang Cella semakin menjadi. Kasihan. Satu kata yang terlintas dibenaknya.
Ia kembali memasukkan ponsel itu ke sakunya, lalu kembali berjalan ke ruangan dimana Cella berada.
Ckleek
"Bagaimana? Apakah sudah dihubungi pihak keluarganya?" tanya dokter yang baru saja keluar dari ruang rawat Cella.
Rakha menggeleng pelan, "Belum, di ponsel ini gak ada kontak anggota keluarga Cella."
"Hmm, baiklah. Tapi tolong segera kabari saya jika kamu sudah dapat menghubungi pihak keluarganya. Ada hal yang perlu saya bicarakan dengan pihak keluarganya." jelas dokter.
"Dokter, keadaan Cella gimana? Dia sakit apa? Apa parah,?" tanya Rakha cemas.
Dokter itu tersenyum, "Doakan saja yang terbaik untuk pacar kamu. Semoga dia tetap kuat dan kembali pulih." Dokter itu menepuk pundak Rakha lalu pamit untuk mengurus pasien yang lain.
Rakha termenung dengan ucapan dokter. Hal yang perlu dibicarakan? Pacar? Semoga kuat? Sebenarnya apa yang sedang dialami Cella.
Rakha segera masuk ke dalam ruang rawat Cella. Ia dapat melihat wajah pucat gadis itu. Wajah yang selama ini datar dan jutek kini berubah menjadi wajah yang lemah. Bibirnya yang jarang sekali tersenyum juga pucat. Rakha tidak tega melihat kondisi Cella saat ini, ditambah tidak ada yang menemani gadis itu di kondisi seperti ini kecuali dirinya.
"Kenapa lo misterius gini sih?" lirih Rakha sembari berjalan mendekat.
"Cell, bangun dong. Lo galak gue terima kok. Asal bangun sekarang," kekeh Rakha.
Tentu saja gadis dihadapannya tidak menjawab, suasana sangat hening, hanya terdengar detak jantung Cella lewat monitor.
Rakha duduk dan memegang tangan Cella. Ia menatap wajah pucat gadis di hadapannya ini.
"Cell, are you okay? Kenapa lo tiba-tiba sakit terus pingsan gini? Harusnya lo bilang ke gue kalo lo sakit, jadi gue gak maksa lo buat ikut acara pelepasan."
"Cell, kenapa lo sendirian? Lo gak ada chatan sama temen ataupun keluarga lo? Ck, bangun relasi itu penting. Biar kalo kita susah ada yang ngebantuin."
Rakha terdiam, matanya melihat air mata turun perlahan dari sudut mata Cella.
"Dia nangis? Dia denger dong?" batin Rakha.
"Cell, sorry kalo kata-kata gue nyinggung lo. Gue gak bermaksud." Rakha mengusap airmata Cella.
"Cell, lo bangun dong nanti lo bisa cerita apa aja ke gue. Gue siap dengerin kok."
"Oh iya, novel lo gimana? Udah jadi? Mana sini biar gue baca." Rakha terkekeh pelan. Dirinya sadar ia harus mengajak bicara Cella walaupun gadis itu tertidur namun ia dapat mendengar perkataan Rakha.
"Cell, gue tau kok lo denger semua perkataan gue kan? Gue yakin, kalo lo sadar nih pasti kesel denger gue yang bawel gini. Haha... Muka lo itu datar dan jutek bersamaan. Gue aja yang cowok takut ngeliatnya, gimana cewek coba?" ledek Rakha.
Melihat Cella tidak bergeming membuat Rakha semakin frustasi. Firasatnya mengatakan kondisi Cella tidak baik-baik saja, namun dirinya juga tidak tahu harus berbuat apa. Ia mengusap puncak kepala Cella dan merebahkan kepalanya di samping tubuh Cella. Matanya terasa berat. "Cella bangun, gue gak suka ngeliat lo kayak gini. Gue..." Rakha tampak berpikir sejenak.
"Gue suka sama lo!" lirih Rakha sembari menggenggam tangan Cella, lalu memejamkan matanya karena rasa kantuk yang melandanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senyum untuk Kejora (COMPLETED)
General FictionAku layaknya bintang di pagi hari Ada, tapi tak terasa Nyata, tapi tak tergapai Walau setia menemani sang fajar, tetap saja terabaikan Jika hadirku tak mencipta suka, Akankah kepergianku menghadirkan duka?