Dunia Putih

82 28 2
                                    

"Apa golongan darah anak itu, sus?" tanya Nova.

"B positif," jawab suster itu sembari membaca berkas pasien.

Semuanya terdiam setelah mendengar ucapan suster.

Tiba-tiba suster dari ruang rawat Cella keluar, "Dokter, pasien kejang-kejang dan mulutnya terus mengeluarkan darah."

Dokter Riza segera masuk ke dalam ruangan.

"Sus, sebentar. Saya segera hubungi keluarga Bella," ucap Rakha.

"Baik mas, tolong segera ya saya hanya menyampaikan apa yang dikatakan dokter. Saya permisi," balas suster itu lalu pergi meninggalkan Rakha dan Nova.

Kini Rakha duduk di sebelah Nova. Pikirannya kalut, ia bingung harus melakukan apa di kondisi seperti ini.

"Rakha," panggil Nova.

Rakha pun menoleh, "Iya tante?"

Nova tersenyum,"Kamu donorin darah buat Bella aja nak."

"Tapi Cella..." ucapan Rakha terhenti.

"Tante akan ke kantor polisi buat bawa papanya kesini. Bagaimanapun ia harus tanggung jawab," senyum Nova sambil mengelus pundak Rakha.

"Aku akan kabarin ke keluarga dan temen-temen Bella dulu, tante. Aku gak bisa bayangin Cella tau kalo yang donorin darah ke dia adalah orang yang udah bikin dia kayak gini," ucap Rakha pelan.

Nova tersenyum, "Cella itu anak yang kuat. Kamu gak usah cemas ya."

.

.

.

.

Bella POV

Aku berjalan di tengah hamparan rumput yang luas, sepi sekali. Aku pun menoleh ke kanan dan ke kiri namun tiada orang disini.

"Gue dimana?" pikirku.

Aku terus berjalan. Sampai akhirnya dari kejauhan aku melihat seorang perempuan sedang duduk di sebuah ayunan yang besar. Aku pun segera berjalan mendekatinya.

"Permisi," sapaku sambil memegang pundak perempuan itu dari belakang.

Perempuan itu menoleh, aku pun terkejut sekaligus senang.

"Cella?" panggilku.

"Hai Bell, sini duduk," balasnya sambil tersenyum.

"Hmm, kita ada dimana?" tanyaku sambil mengedarkan pandanganku.

"Gatau, tapi gue pernah disini juga pas gue koma," jawabnya sambil mengendikkan bahunya.

Aku bingung mendengar jawabannya tadi,  "Hah?"

"Berarti di dunia nyata lo lagi kritis, Bell. Lo inget lo kenapa?" tanya Cella.

Aku berusaha mengingat apa yang telah terjadi sebelum aku terbangun dan berada di tempat ini.

Flashback on

"Maafin aku.."

"Kamu jangan lari-lari..."

"Bell, bangun..."

Flashback off

"Gue kayaknya lagi sama Rakha," jawabku sambil menundukkan kepala.

"Bell, sorry ya. Urusan lo sama Rakha jadi ribet karena gue." Cella mengelus-ngelus pundakku.

Aku pun teringat ucapannya.

"Cell, lo sakit?" Aku menanyakannya hanya untuk memastikan.

Aku melihat Cella hanya tersenyum lalu berdiri sambil mengedarkan pandangannya.

"Bell, lo harus keluar dari tempat ini. Pasti keluarga sama temen-temen pada nungguin lo," ucapnya.

"Ayo kita keluar bareng Cell," balasku sambil berdiri.

Cella menggeleng pelan, "Gue suka disini," ucapnya.

Aku tak habis pikir kenapa ia lebih suka di tempat asing seperti ini.

"Keluarga dan temen-temen lo nungguin juga disana," balasku.

"Gak ada, paling cuma mama gue. Gue gak mau lagi jadi beban buat mama gue." Ia berdiri dan berjalan. Aku pun segera mengikutinya.

"Cell, lo apa-apaan sih? Kita harus keluar bareng," bujukku.

"Lo liat cahaya putih itu?" tanyanya sambil menunjuk.

Aku mengikuti arah yang ia tunjuk, lalu aku pun mengangguk.

"Jangan pernah kesana, selama apapun lo disini," ucapnya.

"Kenapa?" tanyaku penasaran.

Lagi-lagi Cella mengendikkan bahunya, "Gue juga gak tau. Tapi itu kayaknya batas antara disini dan akhirat. Mungkin ya," jawabnya.

"Terus cara kita kembali ke dunia nyata gimana?" tanyaku lagi.

Aku melihat Cella tertegun. Matanya menatap nanar ke padang rumput.

"Waktu pertama kali gue disini. Gue cuma ngikutin sumber suara yang manggil- manggil nama gue," balasnya.

"Suara? Siapa? Nyokap lo?" tanyaku.

"Bukan. Itu suara Rakha," jawabnya tanpa melihat ke arahku.

"Kalian berdua cocok," balasku cepat. Sebenarnya hatiku nyeri mendengarnya.

"Ahahaha..." tawa Cella pecah.

Aku hanya melihat Cella yang tiba-tiba tertawa.

"Gue mau jujur sama lo. Gue harap lo gak motong pembicaraan gue kali ini. Mau?" sahutnya.

Aku pun mengangguk pelan.

"Jujur, gue nyaman saat ada Rakha di deket gue. Gue seneng saat Rakha khawatir sama gue. Cuma sama dia gue bisa jadi diri gue sendiri, ekpresiin perasaan gue."

Aku hanya diam, meresapi setiap pengakuan perempuan di sebelahku.

"Tapi gue sangat sadar akan posisi gue diantara kalian. Gue juga cukup sadar diri kalo hidup gue gak akan lama lagi."

"Cell!!" potongku cepat.

"Maka dari itu. Tolong maafin gue, Bell. Tolong maafin Rakha. Setelah lo kembali ke dunia, tolong pertahankan hubungan kalian berdua."

"Cell, gue maafin lo kok. Setelah kita kembali ke dunia nanti kita akan jadi temen baik." ucapku.

"Makasih Bell, Rakha beruntung punya lo," balas Cella sambil tersenyum.

Senyum untuk Kejora (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang