Episode 7

2.8K 197 172
                                    

New York City satu tahun yang lalu

Aku mengedarkan pandangan ke arah pintu kaca yang menuju lobby Alice Tully Hall sambil menghela napas panjang.
Sudah setengah jam aku menunggu di seberang konservatorium Juilliard dan aku masih belum melihatnya keluar dari sana.

Apakah semuanya baik-baik saja?

Aku mengetuk-ngetukkan jari dengan gelisah pada kemudi sambil melirik sekilas pada buket bunga yang tergeletak di atas kursi penumpang di sampingku.

Aku membawa sebuket besar bunga tropis favoritnya mawar (rose) pink, yang kubeli begitu aku sampai di bandara sejam yang lalu, sebagai tawaran perdamaian.
Ini akan jadi penebusan murahan dan klise, tapi aku tahu dia sama sekali tak akan keberatan.
Jadwalku semakin menggila setiap waktu, dan tidak ada yang bisa kuperbuat tentang itu.

Kontrak, satu kata tapi mempengaruhi seluruh hidupmu.
Jika kau bekerja dalam sebuah industri hiburan, tak ada hal yang lebih kuat dari itu.
Sekali sebuah label memilikimu maka semuanya tidak akan pernah sama.

Apa yang kau pakai, kemana kau pergi, setiap pernyataan yang kau buat di depan umum, sikapmu, bahkan dengan siapa kau berkencan.
Itu bukan keputusanmu.
Maksudku mereka mengatur semuanya.

Yeah, itu menyebalkan,aku tahu.

"Tidak ada hasil tanpa usaha, jadi terima saja."
Itulah kata-kata kakekku saat aku mengeluhkan semuanya di awal karirku dulu.

Aku meraih ponsel dari atas dashboard dan menyadari bahwa pesanku sama sekali belum dibaca.

Apa audisinya belum selesai?
Atau dia terlalu kesal untuk sekedar melihat pesanku karena aku  melewatkan resital solo pertamanya?

Aku mengangkat wajah dan memandangi gedung itu kembali.
Kemudian aku melihatnya berjalan keluar gedung beriringan dengan beberapa orang cewek sambil ngobrol.
Kutunggu sampai kerumunan itu berlalu sebelum aku keluar dari mobil dan berdiri menunggunya.

Dia memalingkan wajahnya dan mengenaliku, aku tersenyum saat melihatnya berjalan mendekat.

"Rosalie, gadis favoritku, bagaimana audisinya?" tanyaku memiringkan kepala menatapnya.
Dia tidak menjawabnya.
"Aku yakin kau membuat para juri berlinangan air mata dengan alunan Tchaikovsky,"
"Kau memainkannya kan? Kau bilang akan membawakan lagu kesukaanku saat audisi."

"Kau melewatkan resitalnya." ia menyipitkan mata melihatku.

Aku tersenyum menyesal padanya, "Jadwal syutingnya tidak bisa ditunda,"
"Tapi aku menontonmu di tv, kau sangat luar biasa, dan itulah yang membawamu di sini sekarang," ujarku sambil mengedikkan kepala kearah gedung Juilliard.

Dia menghela napas kemudian menundukkan kepala.
Aku menangkap gesturnya sebagai pertanda buruk.

Sekolah ini sangat ketat, itulah yang kudengar.
Hanya sekitar lima persen dari seluruh pendaftar yang diterima setiap tahunnya, meskipun aku yakin Rose seharusnya lebih dari mampu untuk berada di sana.

Aku menarik buket bunga dari dalam mobil dan menyodorkan padanya, hingga ia mengangkat wajah dan melihatku kemudian bunga itu.
"Kau adalah pianis paling berbakat yang pernah kukenal." aku mencoba menghiburnya.

Rose tidak mengambil bunganya, ia mendekat lalu melingkarkan kedua lengannya memelukku erat-erat sambil menenggelamkan kepalanya di dadaku.
"Aku sangat merindukanmu, kau pergi berminggu-minggu." ia bergumam.

Aku tertawa mendengarnya, "Xander akan sangat cemburu kalau dia mendengar ini, ia selalu merasa kau tidak menyayanginya." selorohku.

Dia mengeratkan pelukannya, "Audisinya berhasil, mereka bilang tidak perlu berpikir ulang, mereka memastikan akan ada satu tempat untukku di Fakultas Musik tahun depan." ia berkata sambil melepaskan diri perlahan dan memandangku.
Kini sorot matanya tampak bercahaya.

Night and A Day # The Begining (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang