Episode 16

2.2K 119 94
                                    

Masih terlalu dini bagiku untuk berkendara di dalam kota sepagi ini.
Matahari masih akan terbit beberapa jam lagi, bahkan jalanan masih setengah berkabut.

Aku baru saja menerima telepon dari Mia setengah jam yang lalu, dia mengabarkan tentang kondisi terkini Cody yang lagi-lagi menurun.

Selama dua hari ini, seperti yang pernah kukatakan padanya, aku selalu menemaninya pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Cody.
Dan selama itu pula kondisinya tidak pernah bisa dibilang stabil.
Satu waktu dia seakan membaik lalu sebentar kemudian ia mengalami serangan.

Leukemia adalah jenis penyakit yang akan benar-benar menguras seluruh daya tahan tubuh seseorang.
Di saat tubuhnya tak bisa lagi bertahan, maka dengan cepat penyakitnya akan mengambil alih.

Mia dengan telaten membantu keluarga Cody, yang ternyata hanya tinggal nenek dan bibinya karena kedua orang tuanya telah lama meninggal dunia, untuk mengurus beberapa hal dengan para dokter, dan juga makanan untuk keluarga Cody, sedangkan biaya perawatan seluruhnya telah ditanggung oleh yayasan sosial St. John.

Kurasa dia ingin menjadi seseorang yang bisa diandalkan untuk mereka dalam situasi ini, walau aku tahu ini juga pasti sulit baginya.

Aku melihat caranya menatap Cody, ekspresinya sulit digambarkan.
Meski dia tidak menangis sama sekali, seperti ketika aku menemukannya di ujung jalan tempo hari, saat Cody mengalami serangan pertamanya.

Tapi aku bisa mengenali tatapan hancur hati seperti itu dimanapun.
Aku pernah melihatnya pada diriku sendiri waktu kepergian ibuku tujuh tahun yang lalu.

Aku sampai di rumah Mia hampir jam lima, dia berjalan tergesa-gesa ke arah mobilku setelah berbicara dengan tetangganya, seorang wanita setengah baya berbadan besar dengan wajah Afrika-Amerika.

"Maaf, aku mesti menitipkan Joe dan meminta bantuannya untuk mengantar Joe sekalian ke sekolah nanti."
"Ibuku sedang ke Arizona," nada suaranya terdengar was-was.

"Ada masalah?" aku bertanya sambil mengamati jalanan di depanku.
Lengang dan sunyi.
Sebelumnya Harlem adalah daerah terakhir di muka bumi ini yang akan kukunjungi.

Ini bukan rasis, hanya masalah kebiasaan.
Tapi setelah beberapa kali mendatangi pemukiman ini, kurasa ini lumayan.
Meskipun terkadang aku masih merasa heran kenapa Mia dan keluarganya tidak memutuskan tinggal di sekitar Manhattan atau Brooklyn saja.

Dia tampak menggigiti bibirnya sejenak sebelum menjawab, seolah sedang memikirkan kata yang tepat untuk menjelaskan padaku.

"Tidak ada masalah saat dia pergi, tapi yang kutakutkan adalah waktu ia kembali," ujarnya ragu.

Dia menoleh padaku dan matanya tampak cemas.
"Ibuku sangat ketat soal pendidikan, ia selalu ingin aku meraih standar tertinggi," ia menjelaskan.

"Karena itu aku bahkan belum memberitahunya kalau aku ikut dalam pertunjukan teater musim panas, bisa-bisa dia berpikir itu akan mengganggu kuliahku,"

"Dan kalau ia sampai melihat berita tentang kita ..."

Aku baru mengerti arah pembicaraannya.
Sejujurnya aku tak pernah berpikir sampai sejauh itu.

Yang diinginkan oleh manajemen hanyalah membuat imej yang bagus tentangku dengan menggunakan peran Mia di dalamnya.
Dan itu sama sekali tak termasuk berurusan dengan keluarganya—tentu saja.

"Aku janji akan menyelesaikan masalah ini nanti, jadi jangan khawatir,"
Ini adalah jawaban paling absurd yang pernah kukatakan padanya, tapi entah bagaimana aku bisa melihat sorot mata percaya saat ia menatapku.

Night and A Day # The Begining (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang