Episode 69

1.1K 78 36
                                    

Jason POV

"Seberapa besar kau mengubah suspensinya?"

Aku berjalan mengitari mobil Chevrolet merah di hadapanku sambil mengamati Lou yang separuh badannya kini tengah berada di bawah kolong mobil, berbaring di atas car creeper-nya, berkutat dengan komponen mesin yang sedang dimodifikasi.

Lou adalah mekanik andal yang telah bekerja selama puluhan tahun di perusahaan mobil manufaktur milik kakekku.
Sekaligus orang pertama yang dipekerjakan sebagai montir dalam tim inti desain otomotif Marshall's Automobile.

Dan ini, harusnya jadi hari di mana dia serta kru-nya menyelesaikan proyek modifikasi mobil Chevy ini, karena aku berniat memberikannya pada Mia selepas pertunjukan musim panas yang dia ikuti malam ini.

Yep. Pertunjukan teater yang itu.

Pertunjukan yang sudah membuat level kecemasanku meningkat hingga batas tertinggi sepanjang minggu ini.
Benar-benar tak bisa dipercaya.

Mia bersikeras untuk tetap tampil setelah mendapatkan lampu hijau dari dokter yang menanganinya, bahwa lukanya telah delapan puluh persen sembuh sehingga cukup aman baginya untuk melakukan pertunjukan.

Tentu saja berita itu seolah mengipasi semangatnya yang sudah membara.

Sedangkan aku di sisi lain, maksudku, tidakkah semua orang mencemaskan jika sesuatu yang buruk mungkin terjadi?

Mia menyebutku paranoid.
Tapi menurutku ini sangat normal untuk merasa khawatir.
Luar biasa normal, kupikir.

Dan semua orang seharusnya khawatir juga.

Maksudku, bagaimana jika lampu panggung tiba-tiba terjatuh, dan Mia terlalu lemah untuk menghindar karena cidera-nya, atau seseorang tak secara sengaja mengenai punggungnya lalu membuat lukanya makin parah?

Begitu banyak orang yang terlibat serta semua keramaian itu, dan dia akan berada di tengah-tengahnya.

Begitu banyak kemungkinan.

Dan kecuali kursi penonton yang kudapat, aku tidak mungkin berada di sampingnya selama pertunjukan berlangsung untuk memastikan ia bakal baik-baik saja.
Akan terlambat bagiku untuk berlari padanya jika sampai terjadi sesuatu yang salah selama pertunjukan berlangsung.
Tak bisa kubayangkan hal-hal seperti itu terjadi.

Bagaimana mungkin semua ini bisa membuatku tenang?

"Kurasa kau bisa merasa tenang,"
"... ground clearance-nya kini lebih rendah, dan suspensinya kusesuaikan se-akurat mungkin." suara Lou menarik pikiranku kembali.

"Bagaimana dengan beberapa set ban yang lebih besar? Kau tahu, hanya untuk berjaga-jaga."
Aku berkata sambil membungkuk di dekat mobil Chevrolet pick-up itu.

Hanya terdengar suara denting alat-alat mekaniknya yang beradu dengan komponen mobil, tanpa jawaban darinya.

"Tapi kurasa tidak buruk juga kalau punya double ban, bukan?" tambahku.

Terdengar suara gedebuk pelan disertai benda terjatuh membentur lantai lalu disusul dengan gerutuan sumpah serapah, kemudian car creeper yang digunakan Lou serta merta meluncur keluar dari bawah kolong mobil dengan cepat.

"Sesuatu menggigitmu di bawah sana?"
Ujarku saat melihat bekas kemerahan samar di dahinya.
"—atau cuma obeng yang memberimu memar?"

Dia mengabaikan komentarku.
"Sudah selesai." ujarnya sambil beranjak dan memunguti kotak peralatannya yang terbuka di sisi mobil.
Ia meraih sepotong kain lusuh yang bernoda oli dari dalam kotak lalu mengelap kedua tangannya yang penuh noda pelumas mesin.

"Mesinnya, semua baru, seperti yang kau inginkan."

"Dan kau tidak memerlukan ban yang lebih besar atau double ban untuk sebuah Chevy pick-up model ini, tapi saluran udara, kustom knalpot dan lain-lainnya, semuanya bagus."

"Pacarmu bahkan bisa ikut rally Dakar kalau ia mau," kelakarnya sembari melirikku.

"Apa itu sarkasme?" aku menyipitkan mata melihat seringai jahil di wajahnya.

"Kenapa repot-repot dengan barang antik ini? Kau bisa saja membelikannya mobil betulan,"

"Kau harus coba Traiton. Model terbaru perusahaan, edisi pertama, kuyakin kakekmu akan menempatkanmu di urutan pertama pre-order."

"Jika Mia mau." aku mengangkat bahu.

Aku berjalan memutari mobil itu sembari memperhatikan body luarnya.
Lumayan.
Lou membuat warnanya tampak sama seperti aslinya, hanya gambar manual di dekat spion yang kuyakin punya arti tertentu bagi Mia atau ayahnya, dibiarkan apa adanya.

"Tapi dia sudah pasti menginginkan mobil ini, dulunya milik mendiang ayahnya."

"Aku hanya ingin dia memiliki kembali satu bagian terpenting dalam hidupnya."
Kujalankan ujung jariku ke atas gambar Dipple Pines yang tak beraturan di dekat spion.

"Dan aku mau menjadi bagian di dalamnya."

————————————

Oke harus kuakui, pertunjukannya di luar yang kubayangkan.
Aku bicara soal keriuhan, dan juga kumpulan para kru yang memenuhi sisi panggung di Delacorte.

Mereka jelas bukan amatiran.
Setiap detil adegan paling kecil sekalipun, tersusun dengan baik.

Dengan skala ini, tidak ada yang akan melakukan kecerobohan seperti menginjak kaki pemain lain atau secara tak sengaja membanting lawan mainnya saat berdansa Waltz—seperti yang kutakutkan.

Pertunjukannya sendiri berlangsung selama empat hari.
Dan malam ini adalah hari yang ke-empat, penutup dari seluruh rangkaian pertunjukan mereka.

Dan Mia sama bersemangatnya seperti pada hari yang pertama.

Dia terlihat begitu cantik dalam balutan kostum abad pertengahan-nya.
Ia menyanyikan bagiannya tanpa cela dan juga—aku tak suka mengakuinya— tapi pasangan dansanya cukup kompeten, dan jelas sekali terlihat dari gerakannya, ia berhati-hati dengan cedera di punggung Mia.

Sementara melihatnya menari di atas panggung benakku kembali pada momen ketika kami berdansa untuk yang pertama kalinya.

Malam itu sempurna.

Seluruh ballroom hanya untuk kami berdua, cahaya temaram, dan dia dalam pelukanku.

Aku selalu menantikan untuk melanjutkan dansa kami malam itu.

Satu-satunya gadis yang kuinginkan menjadi pasangan dansaku.

Hanya dia yang membuatku memikirkan ribuan kilasan tentang masa depan setiap kali aku bersamanya.

"Bagaimana menurutmu pertunjukannya malam ini?"

Mia menoleh padaku selagi kami berjalan menuruni tangga tribun.

Sebagian besar penonton telah meninggalkan stadium, hanya tersisa para kru yang tengah berbenah serta pemain lain yang berfoto dengan penonton yang masih ada di sekitar tribun.

"Sempurna, seperti biasanya." aku menariknya berjalan ke sisi lain stadium yang tidak dilalui oleh orang-orang.

Kami berhenti di dekat deretan bangku panjang yang dihiasi lampu taman.
"Hanya—kau berdansa dengan cowok lain sepanjang malam selama empat hari, kau tahu," ujarku sambil pura-pura memasang tampang kesal.

Dia tertawa kecil mendengarnya.
"Kau tahu aku berharap itu adalah dirimu, Jason."
Kedua mata karamel-nya berkilat memantulkan cahaya bulan saat ia mendongak menatapku.
Tangannya menjalin jemari kami erat-erat.

"Seperti malam itu." ia berkata pelan.

****************

Holaa gaess thanks for stay tune with this story this far, please leave me some votes and comments buat ngedukung aku bikin next special chapter, lebih oke lagi🙏🙏😍❤

See you soon and have a great day😘💕🍹🏖







Night and A Day # The Begining (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang