Episode 10

2.6K 171 141
                                    

Sacramento Highschool, September 2015

"Kemana yang lainnya?" aku melihat ke sekeliling sambil berjalan ke tengah-tengah gedung gymnasium.

Mia sedang duduk di deretan bangku terdepan dengan buku-buku berserakan di sekitarnya.

"Mereka tidak datang," ia berkata sambil mendongakkan kepala untuk melihatku sejenak sebelum kembali tenggelam dalam buku-bukunya.
"... kurasa." gumamnya tak acuh.

Mia dan buku pelajaran, dua hal yang tak terpisahkan.
Kadang anak-anak lain membuat lelucon tentang dia, bahwa ia mungkin juga menghafal rumus  Aljabar bahkan di dalam tidurnya.

Aku tidak begitu mengenal dia sebelum ini, hanya saat kepala sekolah memasukkan kami serta dua anak lain dalam tim decathlon tahun ini.

Kami mulai ngobrol beberapa kali.
Dan kupikir dia tak se-kuper yang dibicarakan oleh orang-orang.

Meskipun kami tidak benar-benar berteman— secara harfiah, karena dia dan aku, jelas memiliki lingkup pergaulan yang sangat berbeda.

Aku duduk di salah satu bangku di dekatnya,
"Jadi apa yang kau lakukan di sini sendirian Mia?" aku mengamatinya membuat coretan geometry di bukunya.

"Berlatih, decathlon akan dimulai minggu depan." ujarnya tenang sambil membalik halaman buku itu lalu bergumam cepat membacanya.

Aku memutar bola mata melihatnya.
Sikapnya tidak lagi membuatku heran, kalau itu cewek lain pasti ia tak akan melepaskan pandangan begitu pertama kali melihatku berjalan memasuki tempat ini.

Mia bukan tipikal fan girl, hanya itu yang bisa kupikirkan.

Kusandarkan punggungku sambil mengalihkan pandangan darinya,
"Apa kau pernah merasa seperti bukan dirimu? Lelah mencoba menjadi yang orang lain inginkan?"

Aku tak tahu kenapa aku menanyakannya.
Tapi ada sesuatu padanya yang membuatku merasa aman bicara tentang diriku.
Mungkin karena dia tak seperti cewek-cewek grupies itu yang mengikutiku ke mana-mana seolah mereka menyembahku.

Mia memperlakukanku seperti, aku.

Dia mendengus mendengarnya,
"Kau sedang bosan? Apa ketenaran membunuhmu?" selorohnya.

Aku memberinya senyum kecil sambil mengangkat bahu.

"Well, aku selalu menjadi diriku sendiri Jason, jadi pertanyaanmu sama sekali tidak relevan,"

"Benarkah, apa kau tidak pernah melakukan sesuatu yang buruk sepanjang hidupmu, sesuatu yang kau pikir begitu memalukan jika sampai orang lain tahu?"

Dia terlihat bimbang, melihatku sambil berpikir.
"Aku tidak diperbolehkan, maksudku keadaan sudah cukup sulit bagi keluargaku tanpa aku harus memperburuk situasinya." ia berkata ragu.

"Tapi ada satu hal," celetuknya tiba-tiba.
"Setahun yang lalu, saat ayahku belum lama meninggal," dia berhenti sejenak, seolah sedang mencoba mengatur emosinya.

"Aku banyak menghabiskan waktu di pemakaman setelah sekolah, hanya untuk berada di sana berjam-jam,"
"Bercerita tentang hariku, berpura-pura seolah aku sedang bicara dengannya,"
Dia menoleh menatapku sambil mengerutkan kening, "Aneh ya?"

"Itu tidak aneh, kau hanya sedang berduka," tukasku.
Konsepnya tentang "aneh" benar-benar berbeda dariku.

"Kurasa dalam hal itu aku lebih aneh darimu," kelakarku.

Aku tak pernah menceritakan ini pada orang lain.

"Dulu setelah kematian ibuku, aku bahkan sempat menemui psikiater selama beberapa waktu karena kondisiku saat itu benar-benar depresi."
"Jika kau sempat memperhatikan mungkin kau tahu dulu aku sempat menghilang dari dunia hiburan selama dua tahun penuh, untuk masa pemulihan dari berkabung."

Night and A Day # The Begining (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang