Episode 70 : Brave New World

2.9K 104 41
                                    

Jason POV

Hari ini tanggal 27 Mei, waktu di mana matahari seharusnya bersinar cerah, dan langit biru tanpa awan menghiasi cakrawala.

Tapi yang kudapati pagi ini ketika sampai di Landmore Cemetery—sebuah kompleks pemakaman keluarga yang telah dimiliki oleh keluarga besar ayahku secara turun temurun— adalah cuaca dingin yang menusuk tulang dan kabut dari sisa hujan deras semalaman yang mengguyur New York.
Matahari nyaris tertutup awan dan embun tipis membasahi pohon serta rerumputan.

Tempat ini masih tampak sama seperti bertahun-tahun yang lalu sejak terakhir kali aku datang kemari.

Saat berkunjung ke pemakaman keluarga rasanya seolah sedang berada di monumen pribadi—secara harfiah.
Mereka membangun patung-patung yang menyerupai benda peninggalan para leluhur semasa hidupnya lalu meletakkannya di samping pusara masing-masing, sebagai representasi atau semacamnya.

Jadi, tempat ini dibagi menjadi beberapa bagian, di area utara dekat perbukitan dengan lebih banyak perdu bunga adalah lokasi persemayaman bagi anggota keluarga yang dikhususkan.
Mereka biasanya bukan keluarga inti tapi memiliki arti yang sangat penting.

Di sanalah tujuanku.

Aku berjalan melewati deretan nisan batu marmer berwarna hitam dengan tulisan tinta keemasan di atasnya.
Satu hal yang menarik, mereka menuliskan kata-kata kutipan loving memory-nya dalam bahasa Latin.

Seperti bahasa asli ibuku.

Aku berhenti pada sebuah batu nisan yang ada di paling ujung, goresan tintanya tampak paling baru dibandingkan yang lainnya.

Kuhembuskan napas panjang kemudian berjongkok di depannya.
Semua emosiku perlahan berkumpul menjadi satu kala menyusuri nama yang tertera pada batu marmer itu dengan ujung ibu jariku.

Aku menyingkirkan beberapa helai daun kering yang berserakan di atas nisan lalu meletakkan telapak tanganku pada tepian pahatan batunya.

Rasanya sudah begitu lama.
Dan aku tidak menyadari betapa aku merindukannya hingga datang ke tempat ini kembali.

Sakitnya sudah menghilang, dan aku hanya merindukannya.
Aku membayangkan apa yang akan dia katakan jika melihatku sekarang.

Aku mempererat pegangan pada tepian batu nisan marmernya, seolah itu adalah bagian dari dirinya.
Mataku dikaburkan oleh air mata saat mengingat wajahnya dalam benakku.

"Apa kabar—"
"Mom ..."

—————————————

Mia Summers POV

"Bukan begitu—"
Aku menjepit ponsel diantara bahu dan telingaku selagi mengeluarkan loyang berisi beberapa cup pannacotta dari dalam lemari es lalu meletakkannya di atas konter meja makan

"Aku tahu kau sudah berusaha keras memilih tempatnya Karen, tapi bisakah aku menentukan sendiri kemana kami berdua akan pergi?"

"Lagipula aku bahkan belum bicara apapun pada Jason soal ini—"

"Baiklah, katakan padanya dan kabari aku," sahutnya tak sabaran.

"Meskipun aku yakin kakakku tak akan pernah menolak walau kau mengajaknya pergi ke Antartika sekalipun."

Aku mendengus pelan seraya memutar bola mata mendengarnya.

"Apa yang belum kau bicarakan denganku?"

Kumatikan sambungan telepon lalu mengangkat wajahku, dan mendapati Jason telah berada di ambang pintu dapur.
Sebelah alisnya terangkat menatapku.

Night and A Day # The Begining (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang