Mia Summers POV
Ketika bangun pagi ini, aku merasa bagai terperangkap dalam mimpi buruk.
Hanya saja ini bukanlah mimpi.Aku menghembuskan napas panjang seraya menyibakkan selimut dari tubuhku kemudian beringsut duduk dari atas ranjang dan berjalan menghampiri jendela yang ada di seberang ruangan.
Hujan deras memukul-mukul kacanya meninggalkan jejak aliran air yang turun melewati bingkai dan fasad-nya, serta menggenangi rerumputan di halaman.
Langit tertutup awan gelap sejauh mata memandang seolah seluruh belahan bumi sedang dilanda cuaca buruk yang sama.
Seperti suasana hatiku saat ini.
Kurapatkan mantel tidurku seraya menyandarkan kepala pada kusen jendela selagi memandangi hujan di luar.
Aku menghela napas dalam-dalam membuat udara yang kuhembuskan menyapu kacanya, meninggalkan lapisan embun tipis yang menyebar pada permukaannya.Dia akan pergi hari ini.
Dan aku tidak akan ada di sana untuk melihatnya.
Aku mencoba menyangkalnya, tapi jauh dalam hatiku kutahu alasan sebenarnya kenapa aku memilih untuk menghindarinya.
Aku tidak ingin mengucapkan selamat tinggal.
Aku tak akan sanggup melakukannya.
Jadi aku akan tinggal di sini seperti pengecut dan terus berusaha mengabaikan hati kecilku.
Meskipun ini tidak membuatnya menjadi lebih mudah bagiku.Tadinya kukira semua akan baik-baik saja setelah kami sama-sama mengutarakan isi hati masing-masing saat itu.
Bahwa tak akan ada lagi rahasia di antara kami.Tapi setelah aku mendengar kabar kepergiannya justru dari orang lain, Jason menyadarkanku bahwa ia tidak akan mampu memercayaiku seperti yang kurasakan padanya.
Akan selalu ada sebuah batas tertentu di antara kami yang tak pernah bisa kulewati.Aku tidak meragukan perasaannya atau ketulusan hatinya padaku.
Tapi aku juga tahu dia menahan dirinya terhadapku.
Dia masih merasa khawatir bahwa aku tidak akan mampu bertahan di sampingnya jika situasinya berubah.Tanpa dia sadari bahwa caranya menjauhkanku dari semua masalahnya, pada akhirnya, yang akan melukai kami berdua.
Setelah membersihkan diriku dan mengganti pakaianku dengan jins dan blus putih tanpa lengan aku memutuskan untuk turun ke dapur, mencari beberapa butir aspirin atau secangkir kopi yang bisa meredakan rasa sakit berdenyut-denyut di kepalaku.
Ibuku meninggalkan setengah teko kopi yang masih mengepul, serta catatan di pintu lemari es untuk memanaskan spaghetti sisa makan malam, tapi sakit kepalaku membuatku tak ingin menelan apapun selain obat atau kafein saat ini.
Sesuatu yang kuat.Aku melewatkan kuliah hari ini, dan mungkin juga brunch dengan anak-anak dari yayasan siang nanti, atau hal-hal yang lainnya.
Dalam situasi ini, aku tidak bisa pergi kemana-mana.Bukan karena penampilanku yang pucat nyaris seperti mayat hidup, tapi aku ragu dapat memotivasi siapapun dalam mood seperti ini.
"Teman-temanku akan main papan seluncur,"
Aku mengangkat wajah dan melihat adikku, Joe, berlari kecil memasuki dapur.
Kedua pipinya kemerahan dan matanya bersinar senang."Bisakah aku ikut dengan mereka?" ujarnya penuh harap.
Aku mendesah pelan seraya meletakkan teko kopi ke atas tatakannya.
"Di luar sana sedang hujan deras Joe, dan kuyakin Mom mengijinkanmu tinggal di rumah bukan untuk membiarkanmu hujan-hujanan lalu jadi sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Night and A Day # The Begining (Completed)
RomanceJason Marshall punya segalanya yang diinginkan oleh semua orang. Uang, ketenaran, karir yang cemerlang serta penampilan yang sanggup membuat semua wanita bertekuk lutut padanya. Tapi sebuah skandal yang terjadi, memaksanya pindah ke New York, demi...