Episode 33

1.7K 82 54
                                    


Jason POV

Mia memandangku dengan mata melebar terkejut, aku seakan bisa melihat ribuan pertanyaan dalam sinar matanya saat ia menatapku.
Dan seperti yang dikatakan oleh nenekku, aku dapat melihat rasa tak berdaya itu membayang di sana.

Saat ini, aku sangat berharap bisa memberitahunya betapa aku mencintainya.
Dan betapa pentingnya dia bagiku.
Tapi begitu banyak hal yang ada di antara kami, begitu banyak hal yang perlu dia ketahui tentangku, dan juga hidupku.

Tak satupun yang ada pada dirinya, akan bisa mengurangi perasaanku padanya.
Tapi apakah dia akan melakukan hal yang sama tentangku?
Saat ia melangkah masuk ke dalam hidupku dan melihat seluruhnya, bersediakah dia tetap tinggal?

****************

Mia Summers POV

Ketika aku sampai di rumah sakit pagi ini halaman parkiran telah dipenuhi oleh kira-kira selusin mobil van yang pada tiap sisinya terdapat logo dari berbagai stasiun tv.

Puluhan wartawan serta reporter terlihat berkerumun di sekitar lobby dan meluber sampai ke pintu yang menghubungkan dengan jalur khusus lift para pegawai.
Karena para petugas keamanan yang berjaga di luar lobby mencegah mereka masuk, beberapa dari mereka tampak mencoba menanyai karyawan yang hendak masuk ke dalam, dengan sangat gigih.

"... yang benar saja," keluhku sambil melepaskan sabuk pengaman, lalu meraih tas-ku yang ada di kursi belakang sembari berpikir keras bagaimana caraku masuk ke dalam, dengan menyelinap di antara kerumunan barracuda yang ada di luar sana tanpa ketahuan.
Jika mereka sampai mengenaliku—yang hampir pasti akan terjadi— maka habislah aku.

Tepat saat aku nyaris memuntir pegangan pintu karena dikuasai rasa gugup ponselku tiba-tiba berbunyi, saat ini suaranya terdengar seperti alarm penyelamat untukku.

"Jason, aku... "

Tapi dia segera memotongku,
"Pergilah ke belakang gedung, ada satu jalan untuk evakuasi yang ada sisi barat Richmond State, mereka telah membersihkan seluruh area itu dari para media, dan sesudah kau masuk ke dalam, kau akan aman Mia," ujarnya sebelum memutuskan sambungan telepon.

Aku menelan kembali gerutuanku lalu bergegas menghidupkan mesin dan menjalankan mobilku memutari halaman parkir menuju ke belakang gedung rumah sakit.

Beritanya pasti sudah menyebar.
Aku melihat New York Times mulai menuliskan headline tentang Harry Marshall pagi ini.
Mereka menyoroti melemahnya indeks bursa Marshall's Holding Company pekan ini dan berspekulasi bahwa kondisi kesehatannya yang makin memburuklah yang telah menyebabkan sahamnya merosot  tajam.
Omong kosong... kurasa dalam hal ini justru pemberitaan media yang terlalu membesar-besarkannya.

Tak ada kehebohan berarti di dalam gedung rumah sakit, hanya nampak para petugas medis yang terlihat di sana sini tengah mendorong brankar atau kursi roda para pasien menuju ke poli pemeriksaan, serta beberapa karyawan yang ada di balik meja administrasi.
Sungguh berbeda dengan yang terjadi di luar sana.

Aku menggosokkan kedua telapak tanganku lalu menepukkannya ke sisi wajah untuk mengusir rasa penat saat masuk ke dalam lift.
Rasa cemas membunuhku.
Setelah pulang dari rumah sakit semalam, aku sama sekali tak bisa memicingkan mata.
Jadi kuputuskan untuk merampungkan 'hadiah kecil' yang rencananya akan kuberikan pada Jason hari ini.
Mungkin dia akan suka, atau mungkin juga tidak.

Tapi lebih baik kalau aku segera menyelesaikan urusan ini secepatnya, daripada terus menunda dan bertanya-tanya.

Aku mengerang dalam hati saat melihat bayanganku yang terpantul pada pintu lift, merengut pada tampangku yang saat ini terlihat pucat nyaris seperti zombie.
Tak banyak yang bisa kulakukan selain merapikan rambutku dengan cepat sebelum melangkah keluar dari lift.

Saat aku masuk ke kamarnya, Jason sedang duduk di atas ranjangnya, ada sepasang pria dan wanita dengan setelan rapi, masing-masing membawa tas kerja kulit di tangannya, berdiri tak jauh darinya.
Mereka terlihat resmi, dan penting.
Dan sepertinya begitu juga dengan isi pembicaraannya, dilihat dari wajah-wajah serius mereka.

Jason melihatku ketika aku berjalan masuk, lalu ia mengatakan sesuatu pada kedua orang di hadapannya yang membuat mereka segera berbalik pergi meninggalkan ruangan.

"... akhirnya kau berhasil juga sampai kemari," ia berkata saat aku berjalan mendekat.

"Di luar sana benar-benar gila," komentarku sambil melepaskan scarf dari leherku lalu meletakkannya bersama dengan tas yang kubawa di atas nakas di samping ranjangnya.
"Mereka terlihat seperti akan berkemah di sana atau semacamnya kalau saja diijinkan,"

Sudah tiga hari, sejak malam dia mengejarku di lift waktu itu— ingatan yang masih membuat wajahku merona kapanpun aku memikirkannya— Jason diharuskan oleh para dokter yang menangani ayahnya, untuk tinggal di rumah sakit hingga beberapa hari setelah operasi pencangkokan ginjal terhadap ayahnya dilakukan.

Untuk memantau kondisi keduanya, melihat gejala komplikasi, rangkaian tes untuk memastikan tidak terjadi infeksi ataupun penolakan dari jaringan tubuh penerima donor dan sebagainya.

"Joe bertingkah dramatis saat pertama kali tahu kau dirawat di sini,"
Aku berbicara seraya menarik kursi ke sisi ranjangnya lalu duduk sambil menopangkan kedua siku-ku ke tepian ranjang.

"Kurasa ini bakal sedikit mencoreng imej-mu sebagai dewa Olimpus di matanya," kelakarku.

Jason hanya mendengus pelan tanpa mengatakan apapun tapi matanya tak lepas menatapku.

Dan untuk pertama kalinya aku merasa menyesal tidak memoleskan sedikit riasan pada wajahku yang pasti tampak kusut setelah terjaga hampir semalaman.

"Omong-omong, aku membawa sesuatu untukmu," kataku berusaha mengalihkan perhatiannya.
Aku meraih tasku, membukanya lalu mengeluarkan player dari dalamnya.

Dia melihatku dengan tatapan ingin tahu.
Mendadak aku merasa gugup.

Aku mendesah frustasi dalam hati, nyaris ingin menarik kata-kataku lagi.
Tetapi lekas kutepis pikiran itu jauh-jauh.

Sudahlah, aku melakukan hal yang paling kubisa dan mengerjakannya sepenuh hati, jadi masa bodoh kalau memang dia tidak menyukainya.

"... sebenarnya, inilah yang kukerjakan selama beberapa waktu," ujarku sambil menguraikan gulungan headset-nya dengan ujung jemari.

"Aku menulis sebuah lagu, untukmu."

*************

Holaaa👋😄 sori chapter ini sedikit lebih pendek dari biasa, hm semoga kalian tetap suka ya😘😘💕
Please leave me some votes and comments buat aku lebih semangat nulisnya🙏thanks very much❤

See you soon on the next episode and have a great day🙌🍹🏖









Night and A Day # The Begining (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang