Episode 12

2.4K 142 133
                                    

Sebuah seruan yang berasal dari arah deretan sofa yang ada di seberang ruangan mengalihkan perhatianku dari naskah yang sedang kubaca.

Aku mengerutkan kening saat melihat Richard Johnson, yang tengah duduk di salah satu sofa Italy panjang, sedang tertawa sambil menonton salah satu acara gosip terkenal.
Aku memperhatikan layar tv itu dan kemudian mengerti alasannya.

"Mereka meliput hari pertamamu di Columbia?" ia mengeluarkan suara seperti tersedak.
"Ini semacam iklan untuk kampus mereka atau apa," ia terkekeh geli.
Aku menggelengkan kepala sambil mengalihkan pandangan darinya kembali ke naskahku.

Richard adalah rekan mainku di film Magical Valley, aku sudah lama mengenalnya sebelum itu, walaupun tidak seakrab sekarang.

Dia merupakan gambaran sempurna dari seorang pembuat onar.
Jika paparazzi harus memburuku kemana-mana hanya demi mendapatkan gambar yang mereka inginkan untuk cerita karangan mereka, maka Richard adalah kontradiksi-ku.

Dialah ceritanya, nyata dan orisinil.
Ia nyaris selalu terlihat bersama cewek di kedua lengannya—secara harfiah.
Serta beberapa kasus mengemudi di bawah pengaruh alkohol, dan kadang-kadang vandalisme.

Tapi namanya bahkan tak pernah masuk dalam peringkat ke sepuluh dalam daftar pencarian.
Terima kasih untuk ayahnya.

Luke Johnson, ayahnya, adalah seorang jurnalis senior serta pemilik saham terbesar di News Today, surat kabar paling laris di Amerika, jadi pastinya ia tak bakalan pernah membiarkan nama Richard mengisi kolom utama dari setiap headline berita, selamanya.

Bajingan yang beruntung.

"Seperti apa rasanya berada di sana?" ia melipat kedua tangan di atas sandaran sofa lalu menyandarkan kepalanya menatapku dengan ekspresi tertarik.

"Apa yang ingin kau tanyakan sebenarnya?" gumamku sambil membalikkan halaman naskah itu.
Film terbaruku Frosty Fountain, yang akan mulai diproduksi pertengahan musim semi nanti.

"Bagaimana dengan cewek-cewek di sana? Mereka pasti berbeda kan?"

Aku menggerutu dalam hati mendengar pertanyaannya.
Karena itu membuatku memikirkan kembali hal yang tak ingin kuingat selama beberapa hari ini.

Sekarang wajahnya terang-terangan menunjukkan ekspresi "lapar".

Seseorang perlu mencuci otaknya.

Aku mengacuhkannya dan kembali memelototi naskah di atas meja kerjaku, mencoba berkonsentrasi dan mengenyahkan bayangan yang membuatku kesal.

"Maksudku, para cewek dari kampus Ivy League itu... mereka pasti luar biasa," suaranya terdengar mengambang.

Aku tidak mengacuhkannya, tiba-tiba otakku seolah berhenti bekerja untuk sesaat dan aku hanya menatap kosong pada lembaran naskah di depanku.
Mendadak pikiranku dipenuhi oleh bayangan Mia Summers.

Kedua mata karamel-nya yang dulunya selalu menatapku
bersahabat, kini berubah penuh permusuhan.
Aku tahu dia pantas untuk merasa marah atas apa yang pernah terjadi.
Tapi cara dia mengabaikanku seperti serangga, hal itu benar-benar menggangguku.

"Pasti terasa berbeda ketimbang cewek-cewek model, para mahasiswi Columbia itu... mereka pastinya manis dan pintar," kini ia terlihat seperti akan meneteskan air liur.

"Kedengarannya saja sudah sangat seksi, benarkan?" ia berkata parau.

"Pasti seru berada di tengah-tengah mereka, itu seperti ..."

Aku membanting buku naskah itu ke atas meja hingga menimbulkan suara berdebam keras,
"Jika kau tidak menutup mulutmu dan terus mengoceh tentang cewek kampus, aku bersumpah akan menendangmu keluar dari sini!" bentakku sengit.

Night and A Day # The Begining (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang