Episode 25

2K 92 57
                                    


Mia POV

Wajahnya berubah pucat saat ia perlahan mulai menyerap perkataanku.
Itu bukanlah jenis reaksi yang kuharapkan akan kulihat darinya.
Aku melihat rahangnya berkedut marah dan matanya yang berkilat saat menatapku, sempat membuatku goyah.
Tapi aku tidak bisa mundur sekarang.

Dan bukankah aku mengatakan yang sebenarnya?
Jika pemikiranku benar, dia dan agensinya yang terhormat itu, hanya menginginkan nama baik mereka tidak ternoda oleh skandal.
Itulah alasan utama mereka memintaku untuk berpura-pura sebagai kekasih Jason, untuk membentuk opini publik, dan menyelamatkan figur aktor idola mereka yang sangat berharga itu.

Dan kini setelah gosip yang baru muncul dan memojokkanku, hal itu akan membuat posisi mereka lebih diuntungkan.

Seharusnya aku tidak pernah mengganggap enteng risiko sebagai pacar seorang Jason Marshall.
Akhirnya hal yang kukhawatirkan terjadi juga.
Karena bagaimanpun itu mencakup semua hal yang selalu kubenci.

Pertama, sorotan dari orang-orang terhadap semua hal yang kulakukan, atau tidak kulakukan dalam hidupku.
Ini baru beberapa minggu tapi jelas sekali bagiku mereka tidak akan pernah berhenti.
Selama aku masih bersamanya...

Lalu semua tentang gosip dan berita itu.

Dulu, saat hampir seluruh siswa di sekolah membicarakanku dan memperlakukanku seperti wabah, aku berusaha tegar dengan keyakinan bahwa aku hanya perlu bertahan hingga akhir semester dan melewatinya, karena setelah itu kami sekeluarga akan pindah dari sana, lalu aku bisa membuang jauh-jauh ingatan tentang masa SMU yang kelam itu.

Tapi kali ini berbeda, bukan lagi para siswa satu sekolah.
Ini tentang semua orang.
Bagaimana aku bisa menghindar dari semua orang?
Itu tidak mungkin.

Jika sandiwara ini terus berlanjut, orang-orang akan makin mengecamku dan mungkin juga keluargaku, karena akan lebih banyak berita-berita miring seperti yang kulihat hari ini.
Dan aku tidak mungkin bisa mengendalikan pikiran mereka.

Seharusnya aku tidak perlu menghadapi hal-hal semacam ini.
Andaikan saja aku cukup cerdas untuk membuang ambisi-ku mengenai teater itu.
Andaikan saja aku langsung menolak tawaran mereka dari awal.
Andaikan saja... andaikan saja...

Aku mendesah putus asa. Tidak ada jalan keluar yang bisa kupikirkan, ini membuatku hampir gila.

"Omong kosong apa itu?" suara Jason yang terdengar nyaris mirip geraman kasar menyentakkan pikiranku kembali.

Aku menatapnya, matanya dipenuhi oleh amarah, dan oleh sesuatu yang tak dapat kuartikan.

"Dengar, ini adalah yang terbaik," aku berhenti sejenak, menelan ludah dengan susah payah.
Mendadak aku merasa gugup dan kerongkonganku terasa kering seperti gurun Sahara.

Harus kuakui, akhir-akhir ini sulit sekali berpikir —atau berkata-kata— dengan benar saat berada di bawah tatapan mata birunya yang setajam elang itu.
Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, sejak kapan Jason bisa begitu mempengaruhiku.

Mungkin ini karena dia menyelamatkanku dari para preman jalanan tempo hari, hingga membuat tangannya cidera begitu parah.
Pasti peristiwa itu yang telah begitu mempengaruhiku.
Itu adalah penjelasan paling logis mengapa sekarang aku memandangnya dengan cara yang sedikit berbeda.

"Dan soal tanganmu, "aku mencoba memulai lagi setelah melihatnya seperti tidak ingin mengatakan apapun.
"Aku akan tetap menolongmu kalau kau mau, sampai... kau tahu, tanganmu benar-benar bisa digunakan normal kembali,"

Dia masih tetap diam.
Raut wajahnya tak terbaca.
Duduk di sana tanpa mengatakan apapun dan menatapku, tapi itu sudah cukup membuatku gelisah.

Night and A Day # The Begining (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang