47

4.9K 442 99
                                    

Tokyo, Jepang.

Gadis dengan jaket berwarna putih tak hentinya mengikuti gadis berjaket cokelat yang terus berjalan di depannya. Sepanjang jalan yang mereka lewati terlihat bunga sakura berguguran dari rantingnya. Satu kelopak bunga sakura ia tangkap dan ia perhatikan sebentar.

"Kenapa mesti pas gugur gue kemari? Berasa disindir kalo cinta gue bakalan gugur juga." Gumamnya menatap punggung gadis yang masih melangkah lebih jauh dari tempatnya berdiri.

Ia terus memperhatikan gadis itu dari jauh. Semakin ia diam, semakin gadis itu tampak jauh dari pandangannya. Suasana taman yang sunyi bertemankan burung kecil berkicau membuat perasaannya semakin yakin, meski sejauh apapun gadis itu pergi, ia dapat mengejarnya walau harus kehabisan nafas sekalipun.

Tak lama kakinya mulai melangkah pelan, semakin cepat dan akhirnya kedua kaki itu berlari kencang. Ia terus berlari melewati guguran bunga sakura yang tampak indah namun terasa sedih. Setetes air mata keluar dari ujung matanya. Ia mengusapnya dengan kasar dan semakin mempercepat laju larinya. Memang sengaja ia tidak menyuruh gadis itu untuk berhenti, karena ia ingin tahu, seberapa kuat ia berlari mengejar cintanya.

Sampai pada akhirnya, ia berhasil mendekati gadis berjaket cokelat itu. Tangan kanannya segera meraih pergelangan tangan sang gadis dan ia tarik hingga gadis itu berhadapan dengannya sekarang.

Wajah gadis itu tentu terkejut mendapat tarikan seperti itu. Namun terlihat dari wajahnya kalau ia tampak gugup.

"Nga-ngapain kamu ngos-ngosan gitu?" Tanya gadis itu ketika melihat dirinya yang terengah-engah.

"Ngejar kamu."

Ucapan polos keluar begitu saja dari bibirnya. Tak peduli jika gadis dihadapan saat ini akan marah. Tapi yang ia dapatkan hanya tatapan malas dan gadis itu hendak melepaskan genggaman yang ia berikan pada sang gadis.

"Cha, lepas."

"Ay, aku mohon, jangan kayak gini terus." Lirihnya dengan suara bergetar. Entah sudah berapa kali ia memohon agar gadis dihadapannya ini berhenti menghindarinya.

"Aku udah bilang sama kamu, aku nggak bakal nerima kamu apapun alasan kamu, Cha. Aku mau normal! Bakalan ada hati yang sakit kalo kita terusin."

"Aku mohon, jangan kayak gini terus." Lanjutnya membuat genggaman tangan Acha perlahan melonggar dan akhirnya terlepas.

"Kamu mau aku pergi?" Tanya Acha menelan ludahnya susah payah. Rasanya kerongkongannya begitu kering juga dadanya terasa sesak.

"Iya. Jauh, sampe aku nggak bisa liat kamu lagi." Ucap Ayana mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia takut jika dirinya akan lemah akan tatapan Acha.

"Oke, kamu bisa lanjutin jalan kamu," lirih Acha mempersilahkan Ayana untuk pergi. Meski ia tak rela, namun ia harus melakukannya. Ia bukan orang yang akan mengekang orang yang ia cintai. Jadi ia akan menuruti semua yang Ayana katakan.

"Hati-hati."

Setelah ucapan itu keluar dari bibirnya, Acha berbalik. Tak menoleh sedikitpun pada Ayana yang mulai melangkah pergi.

Sampai pada langkah ke-15, telinga Ayana mendengar suara decitan rem yang dibarengi dengan suara klakson yang begitu kencang. Ia menoleh dan mendapati orang-orang berkumpul di depan sebuah mobil sedan hitam.

Jantungnya berdegup kencang, di belakangnya sudah tidak terlihat ada Acha. Ia takut apa yang ia bayangkan saat ini sudah terjadi. Kakinya berjalan cepat ke pinggir jalan. Mencoba melewati beberapa orang yang terlihat sibuk menghubungi ambulans serta polisi. Sampai pada akhirnya ia berhasil. Ia berhasil sampai di depan tubuh seorang gadis yang kepalanya sudah berlumuran darah.

You Are My Everything 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang