54

5.1K 461 72
                                        

Semakin mendekati hari kelahiran buah hati keduanya, Kinal memilih bekerja di rumah. Ia mengurus semuanya dari ruang kerjanya yang tampak luas ini. Sedari tadi ia terus berada di depan laptop sambil sesekali menulis sesuatu di sebuah lembaran.

Sedangkan Veranda tampak duduk di sebuah sofa yang ada di tengah-tengah ruang kerja Kinal. Entah sudah berapa lama ia duduk di sana sembari memperhatikan Kinal yang sibuk bekerja. Karena bosan, ia berdiri dan berjalan ke dekat jendela. Tangannya mengusap-usap perutnya yang sudah membuncit.

Potongan-potongan kecil ingatannya di masa lalu perlahan hadir. Ia masih ingat bagaimana dulu ketika ia sedang hamil Juven.

Waktu itu banyak sekali masalah. Dari Papanya yang tidak terima dirinya hamil sampai Kinal yang di tuduh melecehkan seorang wanita yang sebenarnya menyukai Kinal dan menjebak Kinal. Rasanya saat itu Veranda ingin bunuh diri karena masalah yang tak hentinya datang. Tapi Kinal selalu ada di sisinya, menyemangatinya dan menenangkannya. Veranda percaya Kinal. Gadis bergingsulnya tak akan bisa berbohong padanya.

"Kamu mikirin apa?" Tanya Kinal membetulkan kacamata minusnya. Ia menatap pada Veranda yang kini sudah berbalik menatapnya.

"Dulu waktu hamil Juven, ada aja masalahnya. Dari Papa yang nggak terima aku hamil sampe kamu yang di tahan gara-gara kamu di tuduh ngelecehin cewek gila itu." Ucap Veranda berjalan mendekati Kinal. Perlahan ia duduk menyamping di pangkuan Kinal.

"Tau nggak sih, Nay? Waktu itu aku takut banget lahirin Juven tanpa kamu. Apa lagi kita bukan di negara kita. Jadi makin takut. Tapi untungnya, ada yang bantuin kamu keluar dari sana." Lanjutnya tersenyum tipis. Tangan Veranda menangkup pipi Kinal dan ia menatap manik mata Kinal yang begitu teduh.

"Maafin aku ya, sayang? Harusnya dulu aku dengerin kamu, bukan malah masa bodo sama apa yang kamu bilang. Pokoknya, sekarang nggak akan ada yang bisa buat kamu takut lagi. Karena aku... akan selalu dengerin apa kata kamu."

Veranda tersenyum manis. Lalu ia mengecup singkat bibir Kinal. "Kalo Baby J udah lahir, kita liburan yuk! Ajak yang lain juga." Katanya mengusap-usap pipi Kinal.

"Oke, nanti setelah kamu lahiran, kita liburan ya?" Veranda mengangguk lucu. Ia menoleh pada laptop Kinal yang masih terbuka.

"Udahan ya kerjanya? Aku pengen berduaan sama kamu." Ucapnya membuat Kinal terkekeh geli. Namun Kinal tetap menuruti apa yang Veranda mau, ia menyimpan dokumennya dan kemudian mengajak Veranda keluar dari ruang kerjanya menuju ruang TV.

*****

"Juven, ndak lari-lari, sayang!" Panggilan Viny langsung membuat Juven berhenti. Namun mata bocah tampan itu memperhatikan sebuah boneka manekin di dekatnya.

"Hei! Kenapa, Ven?" Tanya Shani mengusap kepala Juven.

Bukannya menjawab, Juven justru memeluk pinggang Ontynya itu. "Takut." Katanya cemberut.

Shani dan Viny saling pandang langsung terkekeh kecil. Sudah dari dulu Juven begitu takut melihat boneka manekin. Entahlah, menurutnya itu menyeramkan.

"Gapapa, sayang. Itu cuma boneka aja. Yuk, kita beli kue kesukaan Juven. Liat tuh, Dedek Al sampe bobo gara-gara capek kamu ajakin main tadi." Shani menggendong Juven dengan Juven yang langsung memeluk lehernya sangat kuat. Sepertinya bocah itu sangat takut.

"Mau kue apa?" Tanya Viny mengusap kepala Juven dengan sebelah tangannya, sementara tangan sebelahnya menggendong Alice yang sudah tertidur.

"Kue item." Gumam Juven.

Viny dan Shani terkekeh mendengar jawaban Juven. Meski sedang takut, Juven masih saja mau menjawab apa yang ia inginkan. Benar-benar tak beda jauh dengan Kinal.

You Are My Everything 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang