Tepat pukul 11 malam, Juven terbangun dari tidurnya. Tubuh kecilnya turun dari ataa ranjang lalu membuka pintu kamarnya. Dengan masih sedikit mengantuk, Juven berjalan mendekati kamar kedua orangtuanya. Tangannya perlahan membuka pintu. Namun, ia berhenti saat mendengar suara ribut di dalam kamar.
Juven tak jadi masuk, ia justru berdiri di tempatnya sambil menatap kedua orangtuanya yang sedang cekcok. Bahkan suara tangisan Jeven terdengar nyaring ketika tadi ia membuka pintu.
"Aku nggak sudi tidur sama orang yang udah tidur sama orang lain! Kalo kamu nggak mau tidur di luar, ya udah. Biar aku yang tidur di luar sama Jeven." Suara Veranda terdengar bergetar dan nafasnya juga naik turun. Sementara Kinal sudah menangis sembari memohon pada Veranda.
"Aku beneran nggak lakuin itu, Ve. Aku mohon kamu percaya."
"Gimana aku bisa percaya sama kamu? Jelas-jelas itu kamu, Nal! Kamu tau, aku lebih baik pulang ke rumah orangtuaku daripada aku harus tinggal satu rumah sama orang yang berani ngancurin rumah tangganya sendiri!"
"Ve, aku beneran nggak lakuin apa-apa. Aku emang ketemu dia, tapi aku-"
Satu tamparan keras mendarat di pipi Kinal. Veranda tak sanggup mendengar cerita Kinal. Ia takut untuk mengetahui kenyataan bahwa Kinal pernah menemui laki-laki menjijikan itu. Ia hanya ingin menjaga perasaannya untuk tidak sakit kesekian kalinya.
Kinal hanya bisa menunduk merasakan panasnya tamparan Veranda. Ia tidak pernah membayangkan akan mendapat tamparan Veranda lagi. Tapi inilah kenyataannya, karena berita itu, Veranda menjadi seperti ini.
"Ya udah, aku aja yang tidur di luar. Kamu di sini sama Jeven. Tapi tolong, jangan bawa pergi anak-anak." Veranda tak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya dan membiarkan Kinal pergi keluar.
Ia memang tadi sempat menggertak Kinal akan membawa pergi kedua anaknya, tapi itu hanya gertakan saja. Mengingat Juven tak bisa jauh dari Papinya, Veranda tak akan pernah tega melihat bocah tampan itu menangis.
Ketika Kinal membuka pintu, ia terkejut ada Juven di depan pintu kamarnya. Rasanya ia malu karena sudah bertengkar di depan kedua anaknya. Ia hanya diam menatap Juven yang menatapnya dengan cemberut.
"Papi sama Mami, lagi marahan, ya?" Tanya bocah itu.
Kinal menghela nafasnya pelan lalu berjongkok didepan Juven. "Juven, Papi sama Mami nggak marahan kok."
"Tapi tadi Mami pukul pipi Papi. Berarti itu marahan. Kata Onty Shani, ndak boleh marahan apa lagi sampe mukul. Katanya itu anak iblis bukan anak Tuhan. Juven ndak mau Papi sama Mami jadi anak iblis."
Wajah bocah itu sudah cemberut menahan tangisnya. Matanya pun sudah memerah. Namun, semakin lama Juven menahan tangisannya, tangisan itu akhirnya pecah juga. Juven menangis di depan Kinal yang menatap sedih padanya. Kinal tahu, Juven tak mau ia dan Veranda bertengkar.
"Juven, Papi minta maaf, ya? Tadi Mami nggak sengaja pukul pipi Papi. Sini sama Papi ke kamar." Ucap Kinal mengusap air mata Juven.
"Tapi Mami sama Papi ndak boleh marahan lagi, ya?" Kinal hanya mengangguk lalu menggendong Juven menuju kamarnya.
Sedangkan Veranda yang sedari tadi hanya mendengarkan percakapan keduanya, merasa bersalah. Ia tak ada maksud menampar Kinal. Tapi jika tak ia hentikan, perasaannya lagi yang akan menjadi korban kenyataan orang yang ia cintai. Ia tak mau itu.
*****
Pagi-pagi Juven sudah bangun. Ia menoleh kiri-kanan dan tak ia temukan Papinya yang semalam tidur disampingnya. Bocah tampan itu tiba-tiba menangis keras hingga membuat Kinal dan Veranda segera berlari ke dalam kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Everything 2
FanfictionAda banyak cerita yang bisa kita pelajari dalam hidup. Dari kesabaran sampai merelakan. Kisah cinta yang berawal dari sebuah rasa takut akan kehilangan dan berubah menjadi cinta sejati. Berbuahkan seorang putra tampan, pandai dan menggemaskan. Tak a...