(51) sincere of gazza

1.2K 114 73
                                    

Dini hari....

Aku sudah terbangun dari lelapku yang tak seberapa. Mungkin baru sekitar 1 jam aku tidur, tapi sudah terjaga lagi. Aku memang selalu seperti ini kalau lagi camp, tidak bisa tidur dengan tenang. Aku sudah bosan berkali-kali mencoba untuk bisa tidur kembali, namun tetap gagal.

"Yaampun mana pada nyenyak semua lagi" gumamku melihat manusia-manusia di sampingku. Aku sedikit mengernyit melihat di sampingku hanya ada empat orang berjajar dengan sleeping bag nya masing-masing.

Kletek.... Aku mendengar seperti ada seseorang di luar tenda.

Aku memberanikan diri membuka zipper dome meski sedikit ragu dan banyak takutnya. Kudapati seorang tengah terduduk memeluk dirinya sendiri dalam dinginnya hawa ketinggian ini.

"Kak..." sapaku ikut duduk di sampingnya. Ia menoleh sedikit kaget, namun detik selanjutnya sudah bisa tersenyum.

"Kenapa belum tidur ?" timpalnya. Aku menggeleng pelan ikut memeluk lututku mengusir dingin yang mulai merambah.

"Kebangun , aku emang selalu gini kalo camping, ga bisa tidur. Kakak sendiri kenapa gak tidur ?" balasku.

Ia menyesap benda cair pada cangkir enamel yang di genggamnya. "Sama, kebangun juga terus bingung mau ngapain yaudah bikin ini, mau?" tawarnya menyodorkan cangkirnya. Aku menggeleng menolaknya.

"Padahal tadi usaha biar bisa tidurnya susah payah. Baru sebentar malah udah kebangun" keluhku sendiri. Manusia di sampingku hanya terkekeh kecil.

"Bukan cuma kita, tuh banyak pendaki lain yang gak tidur" tunjuknya ke arah tenda lain yang berjarak dari kami.

"Kamu sering insom ya ?" tanyanya masih membahas tentang tidur.

"Yaaah begitulah, bahkan sekarang aku gak pernah bisa kalau tidur dengan niat" jawabku menatap ke depan.

"Maksudnya tidur dengan niat?" timpalnya.

"Ya bisa tidur karena ketiduran, ntah kecapekan nugas, nonton film atau..." jawabku.

"Atau apa?" sahutnya memotong.

"Yaah apalagi yang biasa perempuan lakuin kalau sedih kak selain nangis" jawabku melanjutkan. Ia mengangguk-angguk memahami jawabanku.

"Jangan keseringan, gak baik buat kesehatan kamu" ujarnya, aku hanya mengangguk sekenanya.

Setelahnya, cukup lama kami saling diam. Hanya terdengar suara angin, binatang atau sesekali suara pendaki lain. Namun ada satu yang tiba-tiba menyusup diantara kami. Ntah dari mana datangnya, secara tiba-tiba ada perpaduan hasrat dan keberanian seperti mendorong kepalaku untuk bersandar di bahunya. Kali ini atas diriku sendiri, tanpa tarikan, tanpa aba-aba.

Kurasakan bahunya sedikit goyah karena terkejut atas perlakuanku yang tiba-tiba. Satu, dua atau tiga menit bahu itu masih tegang kaku. Padahal sebelum-sebelumnya aku sudah pernah ditarik merakan bahunya untuk meredakan tangisku, atau sekedar menenangkanku seperti tadi siang.

Namun menit berikutnya aku sudah merasakan sentuhan-sentuhan jemari yang telaten menyapa helai rambutku. Aku memejam seperti ingin merasakan lebih dalam lagi.

"Kak, boleh aku tanya sesuatu?" izinku tanpa menatap manusianya.

"Tanya apa ?" sahutnya halus.

"Kenapa kakak milih untuk suka sama perempuan yang punya pacar? Apa yang bikin kakak bisa tahan selama ini? Bukannya sakit?" tanyaku masih memandang lampu-lampu di bawah sana.

Ia tidak segera menjawab, sepertinya pertanyaanku terlalu berat baginya. Padahal maksudku hanya mencoba membuatnya berbagi rasa. Seperti bagaimana selama ini aku selalu membagi pedih dan mengeluh padanya. Bukankah tidak impas jika hanya aku saja yang ingin didengar?

Kemarin LusaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang