Dua pekan lebih sudah terlampaui,
Malam ini aku sedang melamun di balkon sendirian menatap penuh ruang lapang di angkasa tuhan. Rasa hati masih dirudung kebingungan. Bukan, bukan lagi tentang kapan aku akan kembali ke Indonesia. Tapi mengenai bagaimana kesembuhan deven. Terhitung hari ini sudah dua minggu aku menemui Anna di cafe siang itu. Namun, sampai detik ini anna masih belum juga datang menemui deven. Aku sudah berkali-kali menanyainya melalui pesan pribadi. Tapi nyatanya gayung tidak jua segera bersambut. Apa Anna sudah benar-benar tidak mau tahu tentang deven. Kenapa anna tidak menyisakan sedikitpun rasa iba atau peduli untuk deven. Padahal selesainya mereka belum begitu lama, masa iya tidak menyisakan rasa apapun pada dirinya.
Sebulan lebih aku menghirup nafas di benua ini, lebih tepatnya di ruang rumah sakit ini. Aku tidak jadi pulang dua minggu lalu. Kalian pasti tahu alasannya. Ya , benar keadaan deven tidak memungkinkan untuk aku tinggal waktu itu.
Aku pernah mencoba tidak menampakkan diri seharian di rumah sakit. Pada waktu itu aku ingin mencoba membiasakan deven untuk tidak bergantung padaku. Sebenarnya aku tidak kemana-mana, hanya di rumah kak jessica bermain bersama rey dan vania. Tapi sore harinya kami dibuat kelabakan karena deven mengamuk di rumah sakit karena mencariku.
"Dev... Deven" langkahku tersendat di depan pintu melihat ruang rawat yang begitu berantakan. Bahkan dokter Lavy tampak tengah menenangkan deven tak kunjung berhasil. Deven mendongakkan wajahnya menatap tajam ke arahku. Sungguh ditatapnya dengan pandangan sebengis itu membuatku lumayan ketakutan. Aku sempat mundur beberapa langkah saat ia semakin mendekat ke arahku berjalan perlahan dengan penyangga bantuan karena kemampuan berjalannya cukup membaik.
"Dev, ini aku" kataku sangat pelan. Aku takut melihat raut kemarahan yang luar biasa darinya.
Brrruuukk...
Ia menabrakkan dirinya pada tubuh kurusku, memelukku kuat-kuat. Aku perlahan membalas peluknya mengusap punggungnya hakus-halus. Tubuh deven menggigil, ia tergugu menangis hebat dalam pelukku."Its oke, I'm here honey. Calm down please, I'm here" ucapku lembut meredakan tangisnya.
"Jangan pergi neth, jangan pergi aku mohon neth jangan" ia meracau kalimat itu sejak tadi. Aku melonggarkan peluknya menatap wajahnya yang pucat pasi, mata merah sembab dan bibir yang membiru.
"I'm here with you okay ?" kutangkup wajahnya kemudian ku kecup perlahan kening ya yang basah.
Deven sangat sangat takut aku meninggalkannya. Bahkan malam itu ia tidak mau sedikitpun melepas kontak fisik denganku. Sampai-sampai ia memilih tidak tidur di bednya, tertidur beralaskan bantal lembut yang di pangkuanku , hingga pagi.
Sejak kejadian itu, aku benar-benar tidak mampu meninggalkannya, aku tidak mau kejadian malam itu terulang kembali. Aku tidak tega melihat deven begitu ketakutan. Terlebih lagi, aku sudah resmi mengundurkan diri dari tempatku bekerja. Aku tidak bisa memastikan kapan aku bisa kembali ke Indonesia, maka aku memilih langkah mengajukan resign dari kerjaku. Untuk saat ini kesembuhan deven harus lebih diperhatikan.
Trrrriiingg.... Trrrrriiingg....
Aku tersenyum sesaat melihat penyebab ponselku berdering."Halo" sapaku.
"Hai.." balasnya, hanya mendengar kata Hai darinya perasaanku begitu nyeri.
"Apa kabar kak?" kataku berusaha tenang. Padahal sejujurnya hati ini begitu bergejolak hebat.
"Baik, kamu gimana sehat?" tanyanya. Aku mengangguk sambil mengusap mataku yang basah. Satu bulan lebih aku tidak berkomunikasi dengannya sama sekali. Terakhir hanya pesan berisi kalimat pamitku yang tak juga dibalasnya.
"Kak..." aku tidak bisa menyembunyikan suara parauku.
"Deven gimana sudah membaik?" air mataku kembali lolos. Dalam keadaan yang sangat menyakitkan untuknya, ia masih mau menanyakan keadaan deven.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kemarin Lusa
Jugendliteratur"Semua memang akan ada masanya". Ya seperti itulah yang biasa orang-orang ucapkan. Aku hanya bisa menarik satu sudut bibirku dengan sedikit menyipitkan mata dan nafas yang dalam ketik mendengarnya. "Berhenti bukan artinya pergi Sakit bukan berarti h...