(68) Adu rayu

1.2K 124 147
                                    

Jakarta, Hari ke-6

Hari ini sudah hampir sepekan aku meninggalkan Manado, meninggalkan Jogja demi terkungkung dalam bangunan megah yang menguar aroma khas obat-obatan. Selama ini aku masih berada di rumah sakit setiap hari. Hanya beberapa kali pulang ke apartemen kak gazza untuk mengambil pakaian ganti. Tapi sejak kepergiannya malam itu, aku belum bertemu dengannya lagi. Ia masih di Jakarta, tapi sepertinya ia menyibukkan diri di kantor papanya untuk menghibur kekecewaannya.

Kemarin waktu aku ke apartemen untuk mengambil keperluanku, aku tidak melihat keberadaan kak gazza. Tapi aku menyempatkan diri untuk memasakkannya capcay dan tumis udang untuknya. Aku sudah terlalu mengabaikannya beberapa hari ini. Bukan, bukan maksudku aku tidak mempedulikan kak gazza. Tapi disisi lain deven sedang sangat membutuhkan suntikan semangat selama ia menjalani terapi saraf motorik pada kakinya. Deven sedang berusaha keras mengembalikan kemampuan menggerakkan kakinya. Ia sangat kesakitan tiap kali menjalani terapi itu, tapi ia mau berusaha kala aku menunggu dan menyemangatinya. Tante risty ada, namun kenyataannya booster dari tante risty tak begitu memberi efek pada diri deven.

"Kamu semangat ya, kamu pasti bisa jalan lagi dev. You must try  lagi dan lagi" aku menggenggam kuat tangannya menyalurkan semangat sebelum ia memasuki ruang penyiksaan itu.

"Jangan tinggalin aku neth, aku butuh kamu. Tolong, walaupun aku lumpuh , aku masih berusaha bisa sembuh buat kamu. Supaya aku bisa jalan lagi neth" ucapnya memohon. Aku hanya tersenyum mendengar kalimat haru darinya.

"Kamu harus bisa tahan rasa sakitnya ya, kamu kuat" kataku meyakinkan melepas genggam seiring suster membawanya masuk ke dalam ruang terapi.

Seperti inilah yang aku lakukan setiap deven menjalani jadwal terapinya. Melihatnya dari kaca di bagian pintu , menyaksikan bagaimana ia berteriak kesakitan menjalaninya. Tanpa aku bisa menguatkan atau meringankan rasa sakitnya. Tak jarang air mataku lolos begitu saja melihatnya tersiksa di dalam sana.

"Neth..."
Aku menoleh mendengar suara tenang yang audah beberapa hari hilang dari telingaku.

"Kak.." aku menatapnya dengan masih mengelap bekas tangisku.

"Kakak kok gak bilang dulu kalau mau ke sini" kataku mengajaknya duduk di bangku panjang di depan ruang terapi.

"Kamu mana mungkin sempat mengecek pesan dariku kalau kamu saja tidak sempat mengistirahatkan badanmu" jawabnya membuat hatiku ngilu. Aku tau maksudnya adalah mengatakanku sudah tidak peduli hal lain kecuali deven, aku tau itu sindiran untukku.

"Kakak udah makan?" tanyaku meberiku senyum terbaik yang aku punya.

"Udah kemarin makan masakan kamu. Makasih ya" ucapnya.

"Kok kemarin , ini kan sudah jam segini kakak kok belum makan" kataku melirik jam yang menunjukkan pukul 15.00 WIB.

"Memang kamu sendiri sudah makan?" tukasnya. Dalam keadaan seperti ini ia masih mau memperhatikanku.

"Sudah tadi pagi kak. Kakak makan ya, anneth temenin" kataku meraih tangannya.

"Deven ?" hatiku kembali nyeri mendengar pertanyaannya. Ia kembali merudungku dengan rasa bersalah selalu menomor-sekiankan dirinya.

"Ada tante risty nanti anneth kasih tau tante risty buat tunggu disini. Sekarang kakak makan dulu ya kemanapun anneth temenin" jawabku berusaha tenang.

"Kemanapun?" tanyanya lagi. Aku mengangguk menjawab pertanyaannya.

"Kalau aku bilang balik ke Jogja sekarang?" tukasnya membuatku terhenyak sesak. Aku tau ia sangat kecewa denganku saat ini. Aku tau ia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk bersabar. Aku yang tidak bisa menjawab pertanyaannya hanya mampu menatap kosong.

Kemarin LusaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang