(65) Re-building

1.4K 136 304
                                    

Dua bulan sepeninggal papa,

Hidupku mulai kuatur mendekati normal kembali. Sekarang aku dan mama menetap di Bandung. Sengaja aku mengajak mama pindah bersamaku, supaya ada yang menjaganya. Aku masih meneruskan study S-2 ku di sini, sembari bekerja di sebuah perusahaan ternama di Bandung. Baiknya, perusahaan yang menjadi tempatku bekerja justru mendukungku untuk mengambil pendidikan S-2 ini, kesempatan emas. Sepeninggal papa, hidupku dan mama sempat terseok-seok, sosok papa adalah benar-benar penguat kami secara moral dan spiritual. Itulah sebabnya aku mengajak mama tinggal bersamaku, supaya ia tak merasa kesepian. Lagipula, mama masih harus rutin mengikuti terapi untuk pemulihan kesehatannya pasca kecelakaan. Mengingat usia mama bukan lagi usia muda, maka pemulihan saraf motoriknya sedikit lebih memakan waktu. Belum lagi sebulan terakhir mama mengidap vertigo akut, mungkin efek mama terlalu meratapi kepergian papa setiap harinya membuat waktu istirahatnya berantakan.

"Baik deven besok handle meeting dengan PT Adikarya yang di wilayah Jogja ya. Lagi pula sekaluan kamu bisa bernostalgia sebentar di sana" titah atasanku dengan santai.

"Baik pak, terimakasih atas kepercayaannya" Jawabku mantap sebelum permisi terhadap atasanku.

Lama tidak menyambangi kota pelajar tempatku meniti langkah diawal dulu, seingatku lebih dari 2 tahun aku tidak mengunjunginya. Sudah sekitar 2 tahun pula pikiranku tidak sempat mengingat Jogja dan segala rentetan kisah yang pernah ku jalani. Tapi membayangkan Jogja kali ini, perasaanku seperti berhasrat menuntunku kembali padanya. Dia yang pernah kubahagiakan beberapa tahun lalu. Masihkah ia menyimpan baik semua kisah kasihnya denganku?

Dua bulan lalu aku bertemu dengannya, di Semarang waktu ia hadir dipemakaman papa. Akupun heran dengan diriku sendiri, diantara banyak jabat tangan dan ucapan penguat , tapi kenapa aku justru bisa meluapkan keruntuhanku padanya. Seakan ia datang memang untuk menguatkan keterpurukanku. Mengapa justru aku mempercayai pundaknya untukku bersandar, padahal banyak pundak lain yang lebih kokoh dan tegar. Hari itu telingaku juga sudah dimasuki banyak sekali kalimat penyemangat, namun rasanya tak satupun ucapan mereka yang melegakan kesedihanku. Tapi dengannya, hanya dengan merengkuhnya bahkan sebelum ia berkata rasanya hatiku mencair menemukan titik lega.

Benarkah cinta sejatinya akan tetap kembali pada rumahnya, namun apakah dia masih mau menerimaku kembali?

Mengingat bagaimana ia pernah sehancur itu olehku sendiri, apa mungkin masih ada ruang sekedar bisa membuatku terselip masuk kembali ke hatinya. Tiga tahun, mungkin lebih ia pasti sangat berusaha membuang perasaan yang sebenarnya tumbuh merekah untukku, sebelum ku matikan dengan paksa. Tapi ntah kenapa seperti ada keyakinan sendiri dalam hatiku bahwa ia masih sama seperti sebelum aku tinggalkan.

"Aku gak boleh menyiakan kesempatan ini lagi, mungkin sudah terlambat, tapi mungkin semua masih bisa diperbaiki." batinku membulatkan tekat.

Kata orang , semua manusia berhak mendapat kesempatan kedua. Kedatanganku ke jogja kali ini, juga ku maksudkan untuk meminta kesempatan itu padanya.

Malam ini aku bersiap dengan penuh semangat. Pesawatku akan berangkat dini hari nanti, sengaka aku memilih penerbangan dini hari, supaya aku dapat tiba di sana pagi-pagi. Menurut jadwalku di Jogja, hari pertama aku langsung ditugaskan untuk meeting dengan tim dari PT Adikarya. Jika satu hari aku dapat mendapatkan deal yang sesuai, maka 2 hari berikutnya dapat ku manfaatkan untuk mengambil kesempatan keduaku padanya. Kali ini aku tidak boleh luput lagi.

"Ma, deven pamit ke airport , mama hati-hati di rumah. Patuhi apa yang diktakan suster dwi. Deven di Jogja 3 hari, nanti deven kabarin mama terus selama di sana. Deven pamit ya ma" tuturku lembut mengecup kening mamaku.

"Hati-hati nak kamu juga jaga kesehatan ya nak" pesannya selalu sama setiap aku tinggal dinas luar kota.

Keberangkatanku menuju bandara diantar oleh Pak wawan , supir yang biasa mengantar-antar mama. Hawa dingin kota Bandung dini hari memang menusuk sampaik ke tulang.

Kemarin LusaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang