SF : 05

83.9K 5K 46
                                    


🍀🍀🍀🍀

Terbukti Asa menangis keras saat tidak menemukan sosok ayahnya begitu bangun tidur. Awalnya anak itu biasa saja, tapi begitu duduk di ruang keluarga, mata bulatnya meneliti satu persatu orang di ruangan itu. Tidak ada Papa Damar, membuat Asa menangis keras bahkan menggulinkan tubuhnya pada lantai. Tidak peduli pada ibunya yang berbiat untuk menenangkannya.

Ifa hanya bisa menghela napas pelan, tidak menyangka anaknya yang dulu cuek bebek sudah bebubah bahkan sangat dekat dengan anaknya

"Sana Mama, Asa mau na Papa butan Mama. Mana Papa na Asa, tadi ada tok. Huaaaaaa."

Ini sudah berlalu beberapa menit setelah anaknya menangis, membuat Adel tidak tega, maka dari itu, Adel meminta Bagas agar melakukan panggilan video dengan Damar, mengingat HPnya berada di kamar.

"Yakin, Kak ? Nanti kalau Asa malah nangis kejer gimana ?" Tanya Bagas tidak yakin yang hanya di angguki Adel.

"Asa nak, sudah. Nanti kalau Asa nangis, Papa jadi sedih lihatnya." Adel duduk tak jauh dari Asa, anaknya belum terbiasa di tinggal Damar. Biasanya saat Damar harus keluar kota, sebisa mungkin suaminya itu akan membatalkam atau mengirim orang lain sebagai perwakilan, lain dengan saat ini yang benar benar mengharuskannya untuk pergi.

"Mana Papaku ?"

Kini Asa sudah tidak meronta, tubuhnya pasrah saat dibawa Adel dalam pangkuannya. Mengusap pipi bakpao anaknya yang basah karena air mata.

"Kak." Adel menoleh, mengambil HP Bagas yang sudah terpampang wajah suaminya di sana.

"Kenapa ini anaknya Papa ?"

Mendengar suara itu, Asa segera menoleh ke kanan dan kiri, tapi tidak menemukan apa yang dia cari.

"Mana Papaku ? Tok ada salanya endak ada olang na ?"

Adel segera membalik posisi duduk Asa, membiarkan Asa memegang kendali HP milik Bagas. Baru Asa akan kembali menangis, suara di seberang sana sudah menghentikannya.

"Gak boleh nangis, tadi kan sudah Papa bilang nak."

Ingin sekali Damar kembali, apalagi saat melihat wajah sembab putrinya. Pasti dia menangis tadi, pikir Damar.

"Papa sini, janan pegi-pegi jauh Papa." Ai mata sudah kembali menggenang pada pelupuk mata Asa. Sekali berkedip saja, maka sudah di pastikan pipi berisinya akan kembali basah.

"Iya, lusa ya Nak. Papa kan di sini kerja. Biar bisa beli susu sama jajannya Asa. Bisa beli popoknya Asa juga kan, bukannya Asa masih pakai popok ya kalau malam ? Nah, Papa kerja biar bisa beliin Asa sesuatu."

Asa yang mendengarnya menoleh, mendongak menatap ibunya. "Asa bisa endak pakai pempes Mama ?"

"Bisa, tapi Asa gak boleh ngompol."

Berfikir, Asa merasa sulit. Akhirnya kembali menatap ayahnya.

"Asa endak jajan ya endak papa, tapi Papa na sini. Asa endak mau Papa jauh jauh."

Semua yang mendengar itu tersenyum haru.

"Kalau gak kerja nanti beli makannya gimana hayo ?" Tanya Bagas yang sedari tadi gemas pada keponakannya itu.

"Ya Om Agas beliin toh. Takil Asa, Papa salu takil Asa makan basso besal." Jawab Asa, matanya enggan menatap Bagas, malah menatap layar HP. Menatap wajah tampan ayahnya lekat.

"Iya, nanti Om Bagas traktir. Tapi Asa gak boleh rewel selama Papa kerja. Kan nanti Papa juga pulang." Bagas akhirnya mengalah. Memang seberapa banyak sih keponakannya makan ? Uang hasil menabungkan juga pasti bisa dia pakai sedikit untuk mentraktir tahu bulat di depannya ini.

"Papa, pulang ya. Asa pomis endak nanis lagi, tapina Papa pulang. Bawa boka besal. Ya Papa ?"

Akhirnya, itulah yang ada di benak semua orang. Dari pada Asa menangis memita Damar pulanh sekarang.

.
.
.

Sudah beranjak sore, Asa juga sudah cantik. Dimandikan dengan benar, dipakaikan baju daster batik, dengan rambut yang diikat dua. Jangan lupakan pipi bakpaonya yang terlapis bedak tebal. Tangan kirinya menenteng boneka kucing yang berukuran sedang, matanya sendiri menatap bergantian pada wajah dan perut Tante Savina, istri dari adik ayahnya.

"Peyutna kok besal sih ? Apa sana ?" Tanya Asa, tidak berani mendekat. Savina duduk di sofa tunggal, sedangkan Asa berdiri tidak jauh dari sofa.

"Di dalam sini ada adek kecil." Jawab Savina singkat, mengelus perut besarnya sambil terkekeh melihat Asa yang penasaran tapi takut itu.

"Adek babay ?"

Savina menganggakuk, tangan kirinya terlurur meminta Asa agar mendekat. Tapi tidak diidahkan anak itu, yang ada Asa memiringkan kepalanya dengan jemari telunjuk di dagunya.

"Tok endak ada sala nanis na ? Asa ada tangga adek babay, adek na nanis telus."

Asa berteriak saat merasakan tubuhnya terangkat, karena terkejut, Asa menjatuhkan bonekanya. Tangannya meraih apa saja agar tubuhnya tidak jatuh.

"Eleh, Om Dalin buat Asa kejut aja." Asa memeluk erat leher Darin, adik ayahnya yang juga suami dari Savina.

Darin bisa mendengar detak jantung keponakannya yang menggebu itu, pertanda bahwa Asa benar terkejut. Segera Darin memeluk erat Asa, membisikkan kata-kata penenang.

"Kenapa Mas ?" Tanya Savina saat Darin duduk pada sofa dekatnya.

"Kayaknya terkejut deh, jantungnya detaknya cepat banget."

Savina memelototkan matanya pada sang suami. Tangannya terangkat membelai punggung Asa yang terdiam. "Lain kali jangan di kagetin Mas. Gak baik tahu kalau anak anak kaget."

Merasakan usapan pada punggungnya, Asa segera berbalik. Matanya menatap Savina dan Darin bergantian. Mata bulatnya terlihat heran. Sampai.

"

Tok Ante pandil Om Dalin Mas. Endak boleh itu."

Savina yang mendengar itu tersenyum tipis, meski tidak tahu alasan dibalik larangan itu.

"Memangnya kenapa ? Kan Om Darin suaminya tante Savina, jadi ya nggak papa kalau Tante manggilnya Mas." Darin kembali berujar.

"Ya endak boleh toh, Mas itu Papa na Asa. Mama pandil Papa Mas. Jadina Ante Vina endak boleh pandil Om Dalin, Mas."

Astaga jadi itu.  Darin dan Savina tertawa saat mendengar jawaban yang di lontarkan Asa. Membuat balita mungil itu menatap mereka dengan heran.

"Enggak papa di panggil Mas. Kan Papanya Asa itu suaminya Mama Asa, jadi di panggil Mas. Om juga suaminya Tante, makanya Tante panggil Mas."

Asa terdiam lama. Menatap Darin dan Savina. "Yawis. Endak papa."

.
.
.
.




Yuhuuuuuuu. Up up.

Oh iya, keluarganya Papa Damar belom puasa. Tunggu di next Part yah. Insya Allah disana mereka sudah puasa.

Jangan lupa vote commentnya. See you.

Sweet Family ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang