SF : 35

55.8K 3.3K 84
                                    

Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Tinggal menghitung hari menjelang Hari Raya Idul Adha. Hari ini, Damar bersama dengan kedua adiknya sedang mencari hewan kurban, tentu si kecil Asa diikut sertakan. Mana mau anaknya Pak Damar dan Bu Adel itu ketinggalan.

"Papa ini mo pi mana ?"

Asa bertanya dengan rasa penasaran yang tinggi, tubuh gempalnya yang sedang berada di dalam pangkuan Darin bergerak ke sana kemari, mengamati jalanan yang semakin sepi oleh kendaraan.

"Mo pi utan ? Napa pi utan ? Mo pi kemah ? Tapina kata Mama endak boweh kemah."

Asa yang bertanya, Asa pula yang menjawab. Itulah Asa. Bagas yang duduk di kursi belakang hanya bisa mendengus, ada-ada saja keponakannya ini. Lain halnya dengan Damar yang duduk di kursi kemudi, dia menanggapi kalimat sang putri dengan kekehan, pun Darin yang duduk di kursi samping Damar.

"Lucu kali Mas, kalau punya satu yang kayak Asa." Ujar Darin, tangannya dengan lembut mengusap kepala Asa penuh sayang.

"Iya lucu, saking lucunya hampir tiap minggu beli bedak terus." Balas Damar. Mengingat kebiasaan Asa yang apa-apa harus pakai bedak benar membuat kepalanya pusing.

Bukan karena harga bedaknya, tapi karena kegemaran Asa itu, bedak bayi yang harusnya bisa untuk sebulan malah ludes dalam seminggu. Pernah Asa terbangun tengah malam hanya untuk memakai bedak. Masih untung kalau bedaknya hanya dipakai pada wajah gembilnya saja, tapi ini, seluruh badannya dipoles bedak.

"Bisa gitu Mas ?" Tanya Bagas yang sejak tadi hanya diam. Asa yang mendengar kalimat tanya Om kesayangannya itu segera berbalik menatap Bagas.

"Asa suka bedak, Asa mo pake bedak telus, bal tulitna Asa ni putih selti awam."

"Awan nak, bukan awam." Koreksi Darin.

Mendongak, Asa membekap mulut Darin dengan tangan mungilnya. "Om Dalin, hussst. Janan momong, janan bisik. Benal tu awam tok, awam manana putih, talo mo ujan, awamna wana hitam. Telus tulun ujan, banjil."

Penjelasan yang sangat....Damar, Darin dan Bagas tidak tahu harus apa mendengar kalimat Asa itu. Lagi pula, hujan belum tentu banjir, tapi yang namanya Asa tidak boleh di bantah, ngambek, bisa berabe urusannya.

"Masih mau punya satu yang seperti Asa ?" Tanya Damar usil.

"Doakan semoga cerewetnya tidak seperti Asa, Mas."

Jika sang kakak yang dulu pendiam mampu berbicara banyak, maka bisa Darin pastikan secerewet apa keponakannya ini. Dan kalau dia memiliki satu yang seperti Asa, apa kabar dunianya yang tenang.

"Asa endak wewet tok. Tanya Om Agas, Asa endak wewet. Om Agas kan ?"

Selalu nyeletuk Asa ini. Semua topik disambar dengan cepat.

"Iya Mas, Asa enggak cerewet kok. Cuman ngomong terus aja, enggak ada berhentinya."

"Iya, Om Agas benal tuh, Asa momong aja endak wewet."

Ya, sesukanya Asa saja.

Tiba di tempat yang mereka tuju, mata Asa membulat lengkap dengan bibir yang menganga takjub. Di depannya kini, banyak sekali sapi berukuran besar, anak sapi pun juga ada. Asa yang berada dalam gendongan sang ayah meronta minta di turunkan.

"Wah, sapina besal besal mua. Woaaah, Asa mo num susu sapi tok. Papa ayo pelas susu sapi, Asa mo coba."

Asa sudah hendak berlari menghampiri seekor sapi yang sedang menyusui, sebelum Bagas mencekal niatnya dengan pelukan erat pada perut bulatnya.

"Kita mau beli sapi, bukan peras susu sapi."

"Beli sapi. Sapi besal ? Asa mo juga tok. Ayok pigi beli sapi."

Sweet Family ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang