SF : 56

42.7K 3.2K 225
                                    

Mata Luna sudah menatap Asa kesal sejak tadi, bahkan bocahnya Bapak Fandy itu sempat merengek, meminta agar kegiatan belajarnya dilakukan saat siang hari nanti, saat dimana adik sepupunya tertidur. Bukan tanpa alasan tentu saja, itu semua karena Asa dan segala tingkahnya membuat Luna merasa tidak konsen untuk belajar.

"Ini tok ya malah-malah, Asa ni loh mo ikut bajal bal jadi nanak pande di sekowahna anti, Kak Una tok ya malah, wewot endak jelas." Omel Asa, dengan tangan kanan yang memegang pensil yang sudah patah karena ulahnya sendiri.

Sementara Rian yang menjadi guru dadakan hanya bisa menghela napas lelah. Asa ini sok sekali, padahal dari cerita kakaknya sih, Asa berhenti sekolah karena tidak ada seragam untuk di pakai ke sekolah. Sekarang malah sok rajin dan sok iya di sekolah, padahal sekolah saja hanya beberapa hari.

"Om Lian, Asa ini ganggu. Luna endak bisa belajal betul." Adu Luna dengan bibir yang sengaja di monyongkan, pertanda bahwa dia tidak menyukai keberadaan sepupunya saat ini.

Rian menanggapinya dengan senyum tipis, mengelus pipi berisi Luna dan beralih menatap Asa yang menatapnya dengan senyum terpatri di bibir mungilnya.

"Asa mau belajar?"

Melihat anggukan Asa, Rian tersenyum tipis, sekalian saja mengajari Asa. Toh Asa itu anteng kalau sudah serius dengan sesuatu, dan melihat niatnya untuk belajar tentu bocah gembil itu serius.

"Ya sudah, karena Kak Luna belajar penjumlahan, Asa juga belajar itu ya, biar nanti pintar menghitung."

"Asa pintal tok. Mo denal, ni denal ya."

Asa menatap Luna dengan senyum yang membuat Luna sebal, apalagi Asa berdiri dari duduknya dan mengacungkan tangannya ke depan.

"Satu, duwa, tida, pampat, yima, tujuh, yapan, puluh belas. Pande tok...?"

Ingin rasanya Rian tertawa saat ini, Asa itu ya begitu, sudah salah masih tetap sombong dan songong minta ampun. Hitungannya memang benar, tapi hanya sampai angka lima, selebihnya tentu salah. Entah kemana angka 6 dan 9,juga apa pula itu puluh belas. Sungguh menggemaskan sampai Rian ingin membekap mulut keponakannya itu walau hanya sekejap.

Tapi lain Rian, lain pula Luna. Dia sudah keki sampai ubun ubun kepalanya, kesal tentu saja, tapi meski begitu, sama sekali tidak ada niat untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat Asa.

"Salah kok sombong." Celetuk Luna yang masih bisa di dengar oleh Asa.

"Endak papa tok, anti bajal agi. Asa tan nanak pande."

Melihat adanya aura aura perdebatan, Rian segera mengambil alih pembicaraan mereka di pagi itu. Membuat fokus kedua bocah itu kembali padanya.

"Sudah, kita belajar lagi. Kali ini pengurangan ya. Dengar dan lihat Om baik-baik."

Luna mengangguk sebentar, sedangkan Asa kembali duduk dan menopang dagu. Beruntung meja belajar kakak sepupunya sesuai dengan tubuh mungilnya.

"5-3 berapa?"

Ada yang salah, Rian yakin itu, lihat saja raut bingung kedua keponakannya yang menunjukkan bahwa mereka tidak mengerti. Alamak diceramahi ini.

"Okey-okey. Gini, Luna sama Asa masing-masing punya lima apel. Satu apelnya diambil Nenek Haja, dan dua apelnya diambil sama Om Rian. Jadi sisa Apel kalian ada berapa?"

Rian harap penjelasannya ini diterima oleh Luna dan Asa, dia benar-benar tidak tahu harus seperti apa mengajari anak kecil, dan seharusnya dia tidak mengajukan diri untuk menggantikan kakak iparnya mengajari Luna. Tapi melihat senyum Luna, Rian agaknya sedikit tenang.

"Apelnya jadi 2."

"Wah, Luna hebatnya. Benar loh jawabannya, jadi 5-3 berapa?"

"2" Jawab Luna dengan senyum manis. Apalagi mendapat pujian dari Rian yang notabenenya adalah Paman kesayangannya.

Sweet Family ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang