SF : 08

81.7K 4.8K 72
                                    

Sudah berlalu empat hari semenjak Asa diajak buka puasa bersama oleh Bagas dan terhitung sudah lima hari ini Asa tidak juga bertemu dengan sang ayah, Damar. Pekerjaan yang harusnya hanya dua hari bertambah karena terjadi sedikit masalah pada tempat makan barunya.

Asa sendiri kini dilanda rasa rindu berat sampai membuat suhu tubuhnya naik. Adel dan orang tua Damar tentu di buat pusing sekaligus cemas, pasalnya Asa sudah sakit sejak kemarin dan menolak untuk makan. Alhasil kini anak cerewet itu dirawat di rumah sakit. Sedari kemarin juga Asa selalu mengingau memanggil Damar.

Dengan rasa cemas itu, Pak Jamal akhirnya meminta Bagas agar menyusul dan menggantikan Damar, mengingat Bagas juga mengerti bisnis dan sudah membantu Damar di kantor sejak tahun lalu.

"Sakit ini tananna Mama, dotel na jahat, tusuk tusuk tanan Asa, hikss, Mama sakit ini. Hiksss."

Kelemahan seorang Ibu adalah saat melihat anaknya menangis dan tidak bisa melakukan apapun untuk meringankan sakit sang anak. Adel hanya bisa menahan air matanya. Ini memang bukan kali pertama Asa ke rumah sakit, tapi ini adalah kali pertama anaknya itu memiliki status pasien, biasanya Asa hanya menjenguk saja.

Tangan kanannya yang di infus sejak tadi tidak digerakkan, hanya air mata dan rengekan yang balita 2 tahun lebih itu keluarkan.

"Kamu harus kuat Del, jangan nangis. Nanti malah Asa makin kuat nangisnya." Bu Ifah mengusap lembut bahu menantu sulungnya itu, membuat Adel menyunggingkan senyum tipisnya walau sulit. Selanjutnya Adel mengusap pipi Asa yang sedikit lebih tirus.

"Gak papa, nanti sakitnya hilang kok. Sekarang Asa makan dulu ya, nak. Biar cepat sembuh."

Mendadak bibir mungil itu mencebik, mata bulatnya kembali berembun, bersiap mengeluarkan air mata lagi. "Mauna suap Papa. Mana Papaku ? Tenapa beyum ada sini ?"

"Papa sebentar lagi datang. Sekarang Asa makan dulu terus tidur, kalau Papa sudah datang, Mama bangunkan ya nak ?" Tanya Adel meminta persetujuan sang anak. Dia memang sudah mengabari Damar sejak kemarin malam, dan sekarang sudah hampir pukul 10 pagi, harusnya Damar sudah berada di Malang. Lain cerita jika Malang tiba-tiba macet.

"Huaaaaaaaa, hikss hikss hiks. Mau Papaku kalang, butan nati nati, mauna kalang. Pandil Papaku pi sini, hikssss." Asa makin menangis kencang, isakan demi isakannya tak kunjung berhenti, beruntung di ruangan ini hanya ada Adel dan Ibunya yang menjaga Asa, bisa dipastikan jika ibu mertuanya yang datang, beliau juga akan menangis, mengingat bagaimana Bu Ifa sangat menyayangi Asa.

Suara pintu yang terbuka mengalihkan fokus Adel, helaan napas lega jelas kentara saat dilihatnya sosok yang di tunggui akhirnya datang. Damar sendiri menggumamkan kata maaf yang ditujukan pada Adel dan mertuanya, kemudian berjalan mendekat kearah bangkar di mana Asa masih menangis dan tidak menyadari kedatangannya.

"Loh, ini anaknya Papa kok nangis sih ?"

Damar bertanya setelah memastikan dirinya bisa mengontros suaranya agar tidak bergetar kala melihat kondisi Asa yang biasanya ceria kini terbaring tidak berdaya dengan wajah yang memerah karena menangis kencang.

Asa yang mendengar suara itu sontak menghentikan tangisnya, secepat yang dia bisa, Asa segera menoleh melihat wajah sang ayah yang sangat dirindukannya itu.

"PAPA NA ASA." Teriaknya histeris, lupa dengan tangan yang diinfus, Asa terlonjak berdiri, membuat punggung tangannya berdenyut sakit, dan....

"HUAAAAAAA, JALUMNA TUSUK TUSUK SAKIT. HUAAAAA PAPA, TANANNA ASA SAKIT." Tangisan Asa kembali terdengar, bahkan lebih keras dari sebelumnya. Ditambah saat melihat ada cairan berwarna merah pada selang infus, mata bulatnya melotot takut.

"Tananna bedalah, Papa sakit tananna bedalah Papa. Hikssss, pandil ibu dotelna suluh lepas jalumna Papa, hikssss sakit."

Inisiatif, Ibu Lina segera keluar ruang rawat, berniat memanggil perawat atau dokter untuk menangani infus cucunya.

.
.
.

"Kenapa Papa pegina lama ? Katana cuma 2 hali, kata Om Agas, dua hali itu sebental, tapi Papa endak pulang pulang. Asa na lindu."

Kini di ruang rawat hanya ada Damar dan Adel yang menemani Asa. Ibu Lina sudah kembali sejak tadi, berniat bantu membersihkan rumah putrinya, mengingat kata dokter hanya perlu menunggu cairan infus habis baru Asa boleh pulang. Dan saat ini, cairan itu tinggal sedikit.

Asa sendiri tengah bermanja dengan Damar, duduk menggelayut pada pangkuan sang ayah, mengabaikan Adel yang memperhatikan mereka dari sofa kecil di sudut ruangan.

"Maaf ya, ada salah satu Om buat salah di sana. Jadi harus Papa perbaiki dulu, biar semuanya bagus. Papa dengar dari Om Bagas, Asa gak mau makan ya ?" Tanya Damar, sesekali mengecup pucuk kepala Asa.

"Mama endak kasih Asa makan." Asa mengangguk kemudian menatap Damar dengan pandangan memelas.

Merasa di fitnah, Adel hanya mencibir saja. Padahal dirinya tidak pernah lupa memasakkan sang putri walau dia sedang berpuasa.

"Eleh, padahal kemarin Mama masakin Asa makanan enak loh Pa, Asanya saja bawel, nggak mau dengar Mama." Ujar Adel. Menggabungkan diri dengan anak suaminya.

"Asa lapalkan Papa, telus minta makan sama Mama. Tapi na Mama puasa, jadina endak punya makan. Asa mau beli, tapi di lumah nenek endak ada abang samay. Asa lapal, Mama endak kasih makan, Mama masak masak sama nenek Ipah. Asa mau minta makan sama kakek Jamal, tapi na kakek endak ada."

Damar tertawa geli mendengar sekelebat alasan putrinya itu, lain halnya dengan Adel yang memutar bola mata bosan. Mengabaikan putrinya, Adel mengusap wajah lelah Damar.

"Langsung ke sini Mas ? Gak istirahat dulu ?"

"Gimana bisa istirahat kalau anak sakit gini Del. Gak bisa fokus waktu kamu nelpon, mana Bagas nyampainya lama." Jawab Damar, tersenyum kecil pada Adel dan mengecup singkat dahi istrinya itu.

Adel pasti sangat sibuk belakangan ini, mengurus Asa yang sakit itu benar benar butuh tenaga.

"Aduh." Adel meringis saat merasakan cubitan pada perutnya. Menunduk untuk melihat sang pelaku, hanya ada Asa yang menatapnya tajam. Mengangkat sebelah alisnya bingung, Adel berniat bertanya.

"Endak boleh cium cium Papaku. Ini Papaku, bukan Papana Mama. Papa na Mama itu kakek Haji, bukan Papa Damal, jadina endak boleh cium cium Papaku."

Damar tidak bisa lagi menahan tawanya, putrinya yang cemburu benar benar terlihat sangat menggemaskan.

"Suaminya Mama ini, nak." Gumam Adel gemas. Jika Asa sehat, pasti sudah dia hujami ciuman, sayangnya sang anak sedang tidak sehat.

.
.
.

Asa Is Back.

Maaf yah kalau kurang panjang.

Oh iya, karena bulan puasa baru saja berlalu, saya mau tanya sama kalian semua. Baiknya Sweet Family saya buat tetap dalam suasana ramadhan atau saya skip ??

Soalnya saya mau skip, tapi gak enak juga kalau tiba-tiba dan enggak minta pendapat kalian, biar bagaimanapun, saya menyajikan cerita ini untuk kalian. So, kasih pendapat ya.

Jangan lupa vote komennya.

Typo ?? Koreksi dong, biar bisa saya perbaiki.

See you.

Sweet Family ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang