SF : 15

71.7K 3.8K 57
                                    

Sebentar lagi, tahun ajaran baru akan dimulai, usia Asa juga akan menginjak angka tiga 2 bulan lagi. Maka dari itu, Damar dan Adel memutuskan untuk memasukkan anak cerewet mereka kedalam sekolah PAUD. Pagi ini, Adel sudah siap dengan pakaian syar'i berwarna merah mudanya, lengkap dengan hijab hitam polos. Dalam genggamannya, si cerewet sudah juga sudah lengkap dengan pakaian syar'i kecilnya. Jilbab pasang coklat melengkapi penampilannya.

"Mama, Papa mana ? Suluh cepat cepat, anti mol na tutup endak jadi beyi tas kolah."

Yah, pagi ini mereka berencana untuk belanja perlengkapan sekolah Asa. Tak muluk muluk, hanya tas dan beberapa buku saja. Kemarin saat Adel mengabari orang tuanya di Batu perilah ingin memasukkan Asa sekolah, mereka langsung mengirimi kaos kaki, sepatu, buku gambar dan alat tulis. Belum lagi kiriman dari mertuanya. Jadi belanja perlengkapan sekolah versi mereka hanya formalitas saja.

"Mallnya buka 24 jam." Ujar Adel. Masih santai, lagipula saat dia meninggalkan Damar di kamar tadi, suaminya itu sedang bercermin.

Asa menendikkan bahunya. Dia sudah tidak sabar, sepupunya di Batu semuanya sudah sekolah, termasuk musuh yang kadang dirindukannya, Luna, juga sudah masuk sekolah beberapa bulan lalu. Tentu saja dia tidak mau kalah.

"PAPA CEPA CEPA, ANTI MOL NA TUTUP ASA ENDAK JADI KOLAH."

Berteriak. Hoby yang membuat Adel pusing.

Tak menunggu lama, Damar sudah berjalan menghampiri mereka dengan santai.

"Gak usah teriak. Papa bisa tuli kalau Asa teriak terus."

"Bukan usanna Asa."

Damar menelan ludahnya kesal. Apa apaan anaknya itu, bukan urusannya katanya ? Jika bukan anaknya, maka sudah pasti Damar mencubit wajah gembil itu.

.
.
.

Sesampainya di parkiran mall, Asa mengeluh panas, anak itu bersikeras melepas jilbabnya. Padahal sebelum berangkat, dia sendiri yang ngotot ingin memakai jilbab seperti sang Ibu.

"Mama endak panas peke jibab ?" Asa bertanya bingung saat dirinya berjalan diapit oleh orang tuanya memasuki mall. Rambutnya terpaksa diikat asal asalan karena tidak ada sisir di mobil.

"Mama udah biasa, enggak panas. Nanti kalau sudah besar, Asa juga harus pakai. Oke ?"

"Sepeti Mama ? Papa, Asa pake sepeti Mama talau sudah besal ?" Kini Asa menatap ayahnya yang memilih diam sejak tadi.

"Iya. Kalau enggak pakai nanti Papa masuk neraka. Asa mau Papa masuk neraka ?"

Tentu saja Asa menggeleng. Kata Pak Uztad di kompleks mereka, neraka itu tempat orang orang jahat, disana nanti di siksa, dan sakit. Papanya orang baik, tentu saja dia tidak mau.

"Anti besal, Asa selti Mama, nenek Ipah, ante Ana, nenek Haja, ante Palah, ante Mai sama Ante Nia. Asa pake jibab. Tekalang masih tecil, endak pake dulu. Tundu besal yah Papa ?"

Memang para tante dan neneknya memakai hijab, tentu saja Asa terobsesi ingin mengenakan hal yang sama. Hanya dia belum terbiasa, seperti tadi, hanya di pakai sebentar. Tapi baik Damar ataupun Adel sama sekali tidak pernah memaksa Asa, mereka membiarkan anak itu memilih sendiri. Tentu mereka akan melarang jika sudah lewat batas.

Masih pagi, tapi Mall yang mereka kunjungi sudah ramai pengunjung. Mereka langsung menuju lantai dua, saat di depan eskalator, Damar segera meraih Asa yang bersiap kabur, berniat menaiki eskalator sendiri.

"Papa gendong."

"Endak, Asa dah besal. Bisa jalan dili, Asa mo naik ini tangga jalan."

"Papa gendong atau enggak jadi sekolah ?"

Sweet Family ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang