Hari raya telah tiba, si Hemat dan si Boros tentu sudah melakukan aksi maaf-maafan sepulang dari masjid tempat dilaksakanannya shalat Id. Bahkan kini kedua bocah itu sudah meminta THR pada orang-orang dewasa di keluarga mereka.
Luna tentu girang bukan main karena mendapat uang merah, lain halnya Asa yang kini misuh-misuh tidak jelas karena isi amplopnya adalah uang merah, bukan uang tenun favoritnya.
"Ya endak mo tok. Kakek ini tok ya bitu sih, Asa ni ndak mo uang melah, endak cantik, mamas samayna endak abil uang melah, endak bisa beli cokat di sumaket pake uang melah. Lolang jual-jual tok abilna uang nun, bukan uang melah."
"Ya Allah punya anak begini banget, dikasih banyak kok minta dikit." Ujar Adel dengan gemas, memang sulit untuk Asa menerima takdir bahwa uang merah lebih banyak diminati daripada uang tenun.
Sedangkan keluarga lainnya yang mendengar perkataan Adel hanya tertawa kecil, ditambah Asa yang cemberut tidak terima akan isi amplopnya.
"Ini bisa beli siomay yang banyak loh Sa, bisa beli coklat juga. Satu lembar bisa beli banyak." Mai berkata diselingi usapan pada pucuk kepala Luna yang masih terkagum-kagum dengan isi amplopnya.
"Ya endak mo tok, mona uang nun." Tukang ngeyel memang, taunya hanya uang tenun saja.
Dan untuk informasi saja, untuk membuktikan bahwa Luna dan Asa adalah saudara sepupu, yaitu bahwa kedua sama-sama tidak mengenal yang namanya kembalian ketika berbelanja. Yang mereka tahu hanya mengambil barang, membayar lalu pulang, itulah kenapa dibutuhkan orang dewasa ketika kedua bocah itu berbelanja. Karena keduanya tidak tahu menahu tentang uang kembalian.
Masih untung Asa yang kalau berbelanja menggunakan uang lima ribuan, nah kalau Luna membeli sebungkus kerupuk menggunakan uang seratus, tentu akan rugi bandar kalau kembaliannya tidak di ambil.
"Nanti Papa kasih uang tenun."
Ucapan Damar seakan cahaya didalam gelap, bocah itu sudah tertawa senang dan menatap kakeknya dengan senyum sombong.
"Lihat tok, Papana Asa baik, mau tasih uang nun bat Asa. Endak selti kakek, tasihna uang melah, endak cocok."
Tentu semua orang gemas, Asa berhasil membuat mereka tertawa karena kesombongannya yang hendak di beri uang lima ribuan dan menolak uang merah yang tentu lebih wow.
"Dikasih uang melah kok endak mau." Cibir Luna yang ternyata sejak tadi memperhatikan adik sepupunya itu, bahkan kini dia memasukkan uang THRnya di dompet kecil dengan motif buah manggis.
"Kalau di kasih itu endak boleh tolak Asa, nanti lejekimu jauh loh, endak dapat uang lagi, endak bisa beli jajan."
Sebenarnya apa yang dikatakan Luna ada benarnya, yaitu tidak boleh menolak rejeki, tapi tetap saja ujung-ujungnya bocah itu tetap mengarah pada jajan. Fandy sampai dibuat pusing di buatnya, anaknya ini memang benar benar banyak tingkah.
"Uang melah itu bagus, bisa beli banyak banyak jajan, kalau uang tenun."
Luna mengernyitkan keningnya, pertanda tidak menyukai sesuatu.
"Jelek, endak bisa beli mahal-mahal, beli banyak-banyak juga endak bisa."
Mencium adanya bau-bau pertengkarang antar dua bocah gembil itu, Rian dengan inisiatifnya membawa Asa kedalam gendongannya, dengan iming-iming menunggu kakek neneknya yang akan datang dari Malang sebentar lagi. Tentu saja Asa senang bukan kepalang, walau di Batu sangat menyenangkan, nyatanya bocah itu memang amat merindukan kakek neneknya, terutama sang paman yang selalu mentraktirnya dalam kondisi apapun.
"Adek Sa datang?" Tanya Asa penuh harap, bocah berkepala plontos yang pernah menyuapinya biskuit di saat sedang berpuasa nyatanya sangat dirindukan Asa.
Menjawab pertanyaan Asa, Rian hanya mengangguk singkat. Dari ekor matanya, Rian bisa melihat Luna yang bergaya elegan sedang memakan kue nastar dengan ditemani segelas susu coklat hangat di hadapannya. Sangat anteng jika sudah menyangkut masalah makanan, tapi tetap saja, bibir mungil Luna tetap mengomel perihal Asa yang menolak diberikan uang merah.
.
.
."Masa sih? Asa bohong nih, Om Bagas mah gak percaya."
Percaya atau tidak, Bagas itu sangat ahli menjelma menjadi teman bermain Asa, dalam artian, pemuda itu tahu kapan harus bertindak sebagai Om dan kapan harua bertindak sebagai sosok teman bagi keponakan cerewetnya.
Seperti saat ini, disaat semua keluarga sedang menikmati opor ayam di halaman belakang, Bagas dan Asa justru tengah duduk meleseh di teras rumah dan berbincang dengan cukup serius.
"Ehh, dibilang tok ya endak pecaya. Ini hali balang tok, endak boweh bowong." Mata Asa melotot lucu kala berujar demikian, merasa kesal karena perkataannya dianggap bualan oleh Bagas.
Dan Bagas? Pemuda itu masih menatap tidak percaya, mana mungkin Asa diperlakukan seperti itu.
"Iya tok Asa endak bowong. Kakek Haja tasihna uang melah, endak selu. Tok ya tasih uang melah, Asa mauna uang nun tok." Kini bibir mungil Asa sengaja dimonyongkan, kekesalannya kian bertambah saat mengingat uang THR dari H.Jamal.
"Tapi Asa ambilkan uangnya?" Bagas bertanya dengan was-was, khawatir kalau keponakan manisnya yang hanya tahu uang lima ribuan malah menolak rejeki nomplok.
Gelengan tegas yang Asa lakukan membuat Bagas serasa ingin mengigit pipi berisi itu, ingin sekali Bagas mencekik dirinya sendiri karena hanya mengenalkan uang tenun pada Asa.
"Uang merah loh ini Sa, angkanya banyak ya Allah kok di tolak."
Tidak terima disalahkan, Asa berdiri dan bersedekap dada. "Om Agas ni ya, anti Asa mo banja-banja bamana? Mamas samayna endak mo abil uang melah tok, sukana uang nun. Ebak-ebak sumaket juga abilna uang nun, bukan uang melah."
Malah mengomel, jika tidak ingat yang menjadi teman berbincangnya adalah bocah berumur 3 tahun, maka sudah bisa Bagas pastikan bahwa dia akan mengeluarkan sejuta umpatan. Semua rencana yang tersusun indah dan rapi dalam otaknya seketika melayang saat mendengar penolakan Asa terhadap uang THR yang diberikan oleh H.Jamal.
Bagas tentu tahu bahwa uang THR yang di dapat Asa bukan main banyaknya dan semuanya adalah uang merah alias uang seratus ribu rupiah. SERATUS ribu kali BANYAK?? Tentu bisa jajan sepuasanya, rencananya Bagas akan rela menjadi pengasuh dadakan Asa selama 2 hari dia dan keluarga menginap di Batu, rela menemani Asa kesana kemari, rela menggendong tubuh berisi Asa yang beratnya subhanallah sekalu. Dan tentu menemani Asa jajan yang berarti dia juga bisa ikut jajan.
Tapi ini? Batal sudab semua rencananya karena sudah pasti...
"Uangna abil Papa tok, tukal sama uang nun lima."
Uang merah itu berpindah tangan kepada BAPAK DAMAR selaku ayah dari Asa si bocah lima ribuan. Dan lihat, dengan penuh rasa bangga dan takjub, Asa menunjukkan kelima jari berisinya, menunjukkan pada Bagas bahwa dia menerima uang tenun lima lembar yang tentu tidak setara dengan selembar uang merah.
"Anti Om Agas teman Asa pi banja-banja ya? Asa takil tok, tan uang na Asa banak, ada lima loh."
Pamer lagi, dan pada pamer kali ini, sungguh pamer yang membuat Bagas nelangsa, karena pada ujungnya tentu dia akan mengeluarkan duit yang tidak sedikit untuk membiayai jajan Asa. Dan pasti yang terjadi nanti bukan Asa yang mentraktir dia, tetapi kebalikannya.
"Anti beli baso, beli samat, beli loti, beli banak-banak jajan di sumaket. Sokey, Asa yang bayal uang na Asa banak, endak susah watil. Om Agas banja ja banak-banak, anti Asa bayal semana."
Bisakah Bagas kembali saja ke Malang detik ini juga? Rasanya tidak mampu membayangkan nasib dompetnya yang baru terisi uang hasil gajian beberapa hari yang lalu.
.
.
.Mohon maaf atas keterlambatan Up, kesibukan di tempat kerja, makanya gak ada waktu buat nulis.
Insya Allah gak akan terulang lagi kok.
Jangan lupa kritik sarannya, typo harap di koreksi.
See U next part
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Family ✅
Acakmenjadi orang tua diusia muda bukanlah halangan besar bagi seorang Damar Abimanyu dan Adelia Sukri. Mereka sudah diberi sosok balita cantik bernama Asahila Tiara Abimanyu, balita berusia 2 tahun 8 bulan dengan berbagai tingkah yang kadang membuat ke...