Sore itu Asa memasuki rumah dengan wajah cemberut, pakainnya kotor karena habis main lumpur dengan Rio, anak tetangga sebelah. Adel yang sedang membereskan ruang tamupun dibuat bingung dengan tingkah anaknya.
"Kok gak ucap salam." Adel menegur yang dibalas tatapan sendu anaknya.
Dengan gemas, Asa kembali keluar, mengetuk pintu sebanyak tiga kali.
"Asamikum, Mama."
"Waalaikum salam anak Mama. Kenapa ini wajahnya ?" Bingung Adel, karena tidak biasanya Asa pulang bermain dengan wajah tidak gembira.
Bak menunggu pertanyaan itu sejak tadi, luruh sudah air mata Asa. Tangannya diulurkan pada Adel, meminta untuk gendong. Tanpa banyak kata, Adel segera meraih anaknya itu kedalam gendongannya. Mengabaikan pakaiannya yang pasti akan kotor, saat ini dia sedang dibuat bingung dengan tingkah aneh Asa.
Ditanya ada apa, Asa pun enggan untuk menjawab. Yang ada hanya menangis saja, menenggelamkan wajahnya pada leher Adel. Terus begitu, bahkan setelah dimandikan dan dipakaikan baju. Inginnya selalu digendong dan masih terisak.
"Kenapa, Del ?" Damar yang baru pulang kerja bertanya bingung. Asa tidak menyambutnya seperti biasa.
"Gak tahu, Mas. Maaf ya nggak bisa siapin air mandi sama pakain. Asa lagi manja gini."
Damar mengangguk maklum, walau masih penasaran dengan tingkah Asa, bapak muda itu tetap melanjutkan langkahnya menuju kamar. Biarlah Asa manja dulu, nanti bisa ditanya kenapa.
"Tadi kenapa pulang main langsung nangis, heh ?" Adel bertanya saat Asa tengah menikmati kartun Dora yang sedang berpetualang.
Wajah riang Asa seketika terganti saat mendengar pertanyaan mamanya, kembali memasang wajah sedih seraya menghampiri orang tuanya yang sedang duduk di sofa.
"Mama pangku." Pinta Asa manja yang langsung dituruti oleh Adel.
Mencari posisi nyaman, Asa memainkan kancing baju ibunya. "Tadi Asa temu Pian."
Asa mulai bercerita. Kening Damar sudah berkerut tidak suka saat sang anak menyebut nama Fian. Rumah anak itu hanya berjarak beberapa meter dari rumahnya, anak dari pasangan sosialita yang selalu membuat putri cantiknya menangis.
"Mas, tenang dulu." Adel mengusap lengan suaminya. Paham betul bahwa sang suami sedang marah, teringat kembali kejadian tempo hari dimana Fian melempari Asa dengan batu kecil, walau tidak meninggalkan luka bekas, tetap saja membuat anaknya menangis kencang. Belum lagi orang tua Fian yang sama sekali tidak menegur tingkah anak mereka.
"Fiannya jahil lagi sama Asa ?" Tanya Adel lagi.
Mengangguk singkat, Asa kembali melanjutkan. "Pian lalang lalang Asa main. Pian jejek Asa endak santik, Asa endak suka sama Pian. Katana Asa endak ada duit beli samay, Asa bilang duitna sama Mama. Tapina Pian bilang Asa bohong. Pian makan samay, lepal Asa sama tutuk na."
Adel menghela napas dalam. Semenjak kepindahan Fian dan orang tuanya, entah sudah berapa kali Asa pulang bermain dengan wajah sendu. Pernah sekali jajan Asa diambil paksa, membuag Asa menangis saat itu juga. Dan kini, melempar anaknya dengan tusuk siomay ? Ck, wajar saja jika Asa marah seperti saat ini.
Lamunan Adel buyar saat Damar mengambil alih Asa kedalam pangkuannya. Bisa dia lihat, sang suami merangkum wajah kecil putri mereka dengan tangan kokohnya.
"Jangan sedih lagi, nanti kalau sedih cantiknya hilang. Asa memang tidak bohong, yang bohong itu Fian. Besok besok kalau ada Fian, Asa enggak usah main, oke ?"
"Mas.." Adel berniat menegur, namun urung saat melihat wajah tegas Damar.
"Itu lebih baik. Dari pada main tapi pulangnya langsung nangis kan ? Lebih baik antisipasi aja, gak enak juga kalau kita tegur, meski Mas marah sama orang tuanya yang tidak bisa mendidik Fian. Kamu tahukan, Asa kayak apa. Bisa bisa kalau capek dijahilin terus, yang ada dia buat ulah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Family ✅
Rastgelemenjadi orang tua diusia muda bukanlah halangan besar bagi seorang Damar Abimanyu dan Adelia Sukri. Mereka sudah diberi sosok balita cantik bernama Asahila Tiara Abimanyu, balita berusia 2 tahun 8 bulan dengan berbagai tingkah yang kadang membuat ke...