SF : 28

55.6K 3.4K 63
                                    

"NENEK HAJA, ASA DAH DATANG."

Damar menggeleng disertai senyum saat mendengar teriakan anaknya. Damar yang sedang mengeluarkan barang bawaan mereka dari dalam bagasi, termasuk oleh-oleh untuk Luna dari Asa.

"NENEK HAJA, INI ASA DATANG, TOK ENDAK SABUT SIH ?"

Kembali teriakan itu terdengar, bahkan Damar bisa melihat raut kesal sang anak karena tidak mendapat sambutan dari neneknya.

"Jangan teriak, malu sama tetangga." Tegur Damar. Niatnya ingin menggandeng anaknya masuk ke dalam halaman mertuanya. Tapi apa daya, kedua tangannya sudah kualahan membawah kantong plastik berisi makanan, juga tas sedang berisi pakaian mereka berdua.

"Tok endak ada olang sabut Papa ? Mana mua olang ?"

"Ke rumah sakit dulu." Jawab Damar, tadi dia memang mendapat pesan dari istrinya bahwa mereka sedang di rumah sakit untuk kontrol kesehatan nenek Mufidah.

"Telus kudu apa ? Tundu lual ? Asa endak mo tundu lual, panas. Anti tulit mulusna Asa hitam. Kalo hitam endak endak catik lagi selti Mama." Asa menggembungkan pipinya sebal, sudah terbayang dalam benaknya saat kepanasan nanti.

"Yang bilang tunggu di luar siapa ? Ada Kak Lu..."

"SIAPA TELIAK TELIAK DI LUMAHNA NENEKNA UNA ?"

Belum selesai Damar berkata, teriakan membahana lainnya membuat telinga Damar berdengung. Sepertinya sepulang dari Batu nanti, Damar harus memeriksakan telinganya.

"INI LUMAHNA NENEK HAJANA ASA. BUKAN NENEKNA UNA."

Ya Allah, bisakah kedua balita menggemaskan di hadapannya ini berbicara dengan normal ? Apa tenggorokan mereka tidak perih karena saling berteriak ? Sepertinya Damar lupa, bahwa kedua balita ini tidak ada istilah lelahnya sama sekali.

"Suut. Jangan teriak teriak. Bicaranya pelan pelan saja, nanti suaranya hilang."

Damar bernapas penuh lega, kakak iparnya, Fandy sekaligus ayah dari Luna akhirnya keluar rumah. Melerai aksi saling teriak Luna dan Asa.

"Dam, masuk dulu saja. Pintu rumah enggak di kunci kok. Asa mau main ke rumah Om ?" Tawar Fandy. Yah, rumah Fandy memang bersebelahan dengan rumah sang mertua.

"Anti dulu. Papa mana oweh owehna ?"

Asa menengadahkan tangannya. Meminta cemilan yang semalam dibelinya khusus untuk sang kakak sepupu. Setelah menerima cemilan yang diinginkannya, Asa segera bergeges menuju rumah Luna yang berada tepat di sebalah rumah sang kakek. Di teras, Luna menunggu dengan tampang penasaran.

"Asa bawa apa ? Buat Kak Una ?"

Mengangguk antusias, Asa salim pada Fandy seraya tersenyum. "Asamikum Om Andy. Pa kabal ? Ante Mei mana ?"

Melihat sosok Asa di hadapannya saat ini, Fandy merasa amat yakin bahwa dia harua menanyakan asal muasal kecerewetan sang adik, sampai sampai kecerewetan itu menurun pada Asa. Tapi seingat Fandy, dulu Adel tidak secerewet ini, apa iya Asa tertukar saat di rumah sakit.

"Waalaikum salam, Om baik kok. Asa apa kabar ? Tante Mei ke rumah sakit antar nenek periksa."

"Alamdulah Asa kabalna baik uga, ini asa ada bawa oweh oweh."

"Asa ndak sapa kak Una ? Kok begitu ?"

Si cerewet yang satu malah ngambek nggak di sapa, Asa hanya tersenyum tipis menanggapi Kak Lunanya itu.

"Asa balu mo sapa, ini Asa bawa oweh oweh. Temalin bewi di sumaket. Ada milan lasa cokat sama keju, lasa esobeli juga ada. Semana bat Kak Una, tapina milanna anti badi sama Asa ya." Malah menawar, membuat Luna memasang lagak sok berfikir.

Sweet Family ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang