SF : 13

67K 3.8K 51
                                    

"Mas, minta tolong mandiin Asa. Aku mau siapin pakaian kita dulu."

Mendengar namanya disebut diiringi kata mandi, Asa segera mencari tempat persembunyian. Saat ini orang tuanya berada di dalam kamar, dan saat ini masih sangat pagi. Air pasti terasa dingin. Dan Asa tidak mau mandi air dingin pagi ini, subuh tadi turun hujan, jadi pasti airnya akan lebih dingin dari biasanya.

Memang setiap paginya Asa selalu dimandikan dengan air dingin, jarang sekali Adel memandikan Asa dengan air hangat, takut anaknya enggan mandi menggunakan air dingin kala terbiasa dengan suhu hangat dari air.

Maka dengan itu, Asa segera berlari keruang keluarga. Berpikir dengan bibir yang dimonyong monyongkan, Asa melihat sebuah kardus kosong yang terletak didekat meja televisi. Segera diambilnya kardus tersebut kemudian masuk kedalamnya.

Tentu saja kardus itu tidak cukup untuk memuat tubuh Asa, hanya bagian bahu sampai kaki yang mampu tersembunyi. Saat akan menunduk, suara langkah yang mendekat mulai terdengar. Panik, Asa menunduk dalam.

"Asa. Asa sayang, ada dimana ?"

Suara berat ayahnya mulai terdengar. Asa menahan napasnya dalam.

"Anaknya Papa dimana yah, kok enggak ada sih."

Damar bukannya tidak melihat anaknya, tentu saja cara Asa bersembunyi sangat mudah ketahuan, secara, kepalanya saja masih berada diluar kardus.

"Mas, mandiin anaknya cepat."

Adel datang dari kamar dengan wajah menahan kesal. Seingatnya, Damar tidak pernah cepat kalau menyangkut memandikan Asa. Ada saja tingkah mereka berdua yang membuat kepalanya pusing. Tapi melihat suaminya yang mengisyaratkan untuk diam, Adel melangkah mendekat dengan kening berkerut.

"Ma, ini ada kardus buat apa ? Mau dikirim ke Probolinggo ya ?" Tanya Damar membuat Adel melihat kearah yang dimaksud suaminya. Tentu saja hal itu membuat Adel tertawa geli. Ada-ada saja.

"Oh, kardus ini Mas. Iya, isi kardusnya buat Luna."

Dalam hati, Adel mulai menghitung. Tepat saat hitungan ketiga...

"Ini na Asa, ini kadusna Asa, kadusnya endak isi. Kadusna Asa, ya punana Asa. Tenapa Mama mau badi badi sama Kak Una ? Endak boweh, Asa endak mau badi badi kadusnya. Isina kadus ni Asa. Mama mau tasih Asa sama Kak Una ? Janan, anti Asa di cubit Kak Una, Kak Una suka cubit cubit, Asa endak suka."

Tepat dugaannya, Asa mengomel panjang lebar hanya karena nama kakak sepupunya itu. Padahal kalau lama tidak bertemu juga saling mencari.

"Kalau enggak mau Mama kasih kak Luna. Sekarang Asa keluar dari kardus, terus mandi sama Papa. Atau mau Mama tinggal, Papa sama Mama mau kerumahnya Nek Ifah."

"Mama mau tidalin Asa ?" Tanya Asa tidak percaya. Matanya melotot lucu. Damar yang sudah tahu bahwa ini tidak akan berakhir cepat, maka dari itu dibawanya tubuh sang anak dengan paksa untuk segera dimandikan.

"Ya Allah, punya anak satu ribetnya minta ampun. Nurun dari siapa sih sifatnya itu, ngomelnya kok enggak ketulungan." Dumel Adel, segera mengambil kardus yang digunakan Asa tadi, berniat untuk memasukkannya kedalam gudang.

.
.
.

"Lama banget datangnya."

Damar dan keluarga kecilnya disambut dengan gerutuan Darin, yang baru saja membuka pintu untuk menyambut mereka.

"Tadi drama dulu, ada yang ngomel pagi-pagi." Ujar Damar, membuat Asa yang berjalan beriringan dengannya mengangguk setuju.

"Iya, Mama omel padi padi. Pusing palana Asa denal Mama omel."

"Emang iya ? Kenapa Mama ngomel ?"

Darin tentu tahu itu hanya kebohongan keponakannya, secara kebiasaan mengomel Asa sudah terkenal dikalangan keluarga mereka.

"Huuuf. Mama omel omel Asa. Mama suluh mandi, tadi ujan kan Om ?" Anggukan Darin membuat Asa kembali melanjutkan.

"Ailna dinin. Asa mauna mandi nanti, Mama mauna padi padi. Asa bunyi dalam kadus, Mama jaat, Mama mau kilim Asa pi Polindo. Mau tasih Kak Una. Mama omel omel, mau tidak Asa di lumah."

Damar mengusap bahu istrinya itu.

"Terus, Asa ngapain waktu Mama ngomel ?"

"Asa diam, Asa nanak baik."

Diam dari mananya, ingin sekali Darin mencubit pipi gembul itu saking gemasnya.

"Savana Mana, Dar ? Mbak bawa jeruk mandarin, katanya lagi pengen ini."

"Di dapur Mbak. Kasih Darin aja, Mas Damar sama Mbak Adel bisa istirahat dulu. Apalagi pasti capek karena harus drama pagi-pagi."

Asa yang merasa diabaikan tentu merengut tidak suka. "Jeyuk na dali nenek Haja na Asa."

"Nenek Haja itu, Mamanya Mama." Ini Damar yang menimpali.

"Butan. Nenek Haja itu Ibuna Mama. Butan Mamana."

Terserah Asa saja kalau sudah begini. Mana mau anaknya Bapak Damar ini kalah.

"Gak usah Dar. Biar Mbak aja, lama-lama disini, yang ada udah aku cubit gemes itu pipinya anak satu. Ngidam apa dulu Mbak sampai anaknya cerewet gitu." Ujar Adel dan melenggang pergi.

Biarlah urusan Asa dan tas pakaian mereka diurus sang suami.

.
.
.
Ini Asa yang lagi ngumpet di kardus.

Ini Asa yang lagi ngumpet di kardus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jadi.... saya itu gak bisa Up tiap hari yah. Tapi saya tetap akan usahakan untuk Up secepatnya biar gak ngaret dan gak buat kalian nunggu lama.

Soalnya saya juga readers, saya juga tahu gimana rasanha digantungin sama authoe pas lagi gak sabarnya.

Jangan lupa kasih vote, comment banyak banyak juga.

Typo juga dikoreski. Okey ?! See you.

Sweet Family ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang