SF : 48

49.5K 3.5K 136
                                    

Bagas hanya bisa tertawa pelan melihat tingkah sang ponakan yang sedang menikmati burgernya, ukuran burger yang super itu membuat Asa membuka mulutnya lebar-lebar. Padahal tadi Bagas sudah menawarkan agar memesan burger mini saja.

"Om janan liat liat ya, anti matana lual dali tepatna talo liat Asa telus. Talo mo makan bugel selti punana Asa, bal Asa padil payanna bal Om bisa sesan bugel."

Rasa-rasanya Bagas ingin satu yang seperti Asa, tapi pikiran itu dienyahkan jauh-jauh, mengingat dia belum sah dengan Kania.

"Makan yang cepat terus kita pulang. Om capek."

"Capek napa tok? Om Agas endak lali-lali, endak owagah ya tok capek. Olang endak keja apa-apa."

Sungguh ucapan Asa membuat Bagas mengucap istigfar berulang kali, keponakan cantik dan menggemaskannya ini memang nomor satu kalau masalah mencela orang. Sudah jelas dari lantai satu mall tadi hingga tempat makan di lantai dua, bobot Asa yang super itu Bagas yang tanggung. Belum lagi saat di gendong Asa tidak bisa diam barang sedetik saja, membuat Bagas lelah bukan main.

"Om gendong Asa, Asa kan berat makanya Om jadi capek."

Asa meletakkan burgernya kembali, menatap sang Om dengan tatapan tidak percaya. Sangat dramastis.

"Sapa suluh dedong Asa? Asa endak suluh suluh dedong tok."

Dan Bagas yakin, bahwa keponakannya ini pasti terbentur sesuatu, karena sudah jelas bahwa tadi Asa merengek meminta gendong padanya.

"Makan aja, jangan bicara. Gak boleh bicara kalau lagi makan."

"Om ajak Asa bacala, talo Om endak ajak bacala, Asa endak bacala tok. Salahna Om Agas ini, tok nomelna sama Asa."

Nah kan, selain menyebalkan, dan tukang dramastis, ternyata keponakannya ini juga sangat pandai menyalahkan orang lain. Fiks, itu sudah terbukti kebenarannya, karena Bagas sudah membuktikan dan menjadi korbannya berkali-kali.

.
.
.

Seperti biasa, sore-sore begini Asa sudah cantik dengan pipi bulat yang dipenuhi bedak, juga jangan lupakan rambutnya yang kini dikuncir dua plus daster mungil bermotif batik yang menjadi kegemarannya sudah melekat pada tubuh mungilnya.

Bocah itu sedang berdiri di dekat kolam ikan disamping rumah sang nenek, memang beberapa hari ini entah sampai kapan, Damar memang memutuskan untuk tinggal sejenak di rumah orang tuanya. Bukan tanpa alasan, melainkan karena istrinya yang tengah hamil muda tentu membutuhkan bantuan untuk mengurus anak mereka yang super sekali. Hal yang tidak bisa selalu Damar lakukan karena kesibukannya.

"Lasana mo makan ayam bakal." Asa berujar lucu, sesekali mengusap perut buncitnya.

"Lapal sali ini."

Padahal bocah itu baru saja makan beberapa menit yang lalu, dan kini mengeluh lapar. Subhanallah sekali.

"Ehhh ngapain ini di dekat kolam, nanti jatuh dimakan ikan loh."

Asa abai, mengacuhkan sang ayah yang sudah jongkok di dekatnya. Damar yang merasa diacuhkan hanya tersenyum tipis, paham betul dengan sifat putrinya. Asa itu kalau terlalu fokus yza seperti ini, seolah dunia hanya ada dirinya dan sesuatu yang difokusinya. Tapi tentu itu tidak bertahan lama, lihat saja mata bulatnya yang kini menatap Damar penuh harap juga lengan yang melingkar erat pada leher ayahnya itu.

"Papa, Asa lapal, mo makan ayam bakal. "

Damar mengerutkan keningnya bingung, bukankah harusnya sang putri ingin makan ikan bakar? Mengingat si cerewetnya ini sudah memandangi kolam ikan sejak beberapa menit lalu.

"Bukan ikan bakar? " Damar bertanya seraya membenahi bedak yang membumbun tebal pada pipi bakpao Asa.

Asa menggeleng yakin, "Mona makan ayam bakal."

"Terus kenapa Asa ada di pinggir kolam bengini? "

"Asa mo jalan-jalan, Asa sidah sini mo lihat ikan na. Tapina Asa lapal, mo makan ayam, tadi tok Papa,  Asa dali mol sama Om Agas, banja-banja. Asa beli boka besal, telus Asa makan endak tahu namana apa. Om Agas endak beli Asa ayam bakal."

Tak urung senyum kecil Damar sunggingkan. Melihat putrinya kini semakin hari semakin ada saja tingkahnya, dan Damar yakin bahwa 100% perkataan Asa adalah sesuatu yang agak memojokkan adiknya. Mengingat Bagas sangat menyayangi Asa, tentu saja adiknya itu hanya memesan apa yang ingin dimakan sang putri. Benar-benar ratu drama putrinya ini.

"Kok papa jadi genas sih, sama si cerewet ini, hmmmm? " Tanya Damar dengan menciumi pipi gembil Asa.

"Loh, papa demas sama si wewet, endak demas sama Asa ? Asa ini loh nanaknya Papa sama Mama, bukan si wewet wewet itu, halusna demasna sama Asa. Tok ya bitu tok."

Makin gemas saja Damar, apalagi melihat Asa yang dalam aksi merajuk meski tak melepas pelukannya.

"Yang bilang Asa anak tetangga siapa sih? Hmmm. Orang jelas-jelas Papa yang buat sama Mama." Gumam Damar, seraya menggendong Asa memasuki rumah.

"cala buatna Asa bamana? Tepung tigu capul apa? Asa pasalan, Papa cita-cita pat, Asa mo denal calana bat Asa bamana."

Asa yang terlalu kritis tanpa sadar membuat wajah kebanggaan sang ayah memerah malu. Damar sendiri meruntuki dirinya, ya harusnya dia tidak berbicara yang aneh-aneh saat berada di dekat putrinya yang serba ingin tahu ini. Ya seharusnya.









🍀🍀🍀🍀🍀

Disempatin Up walau pendek, soalnya ngetiknya juga ditengah tengah kerjaan. Makasih untuk yang selalu support. Jangan lupa kritik dan sarannya, typo juga harap di koreksi, see you next part

Sweet Family ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang