SF : 02

102K 6.1K 190
                                    

🍀🍀🍀

Malam harinya, Asa sedang berbaring nyaman didepan televisi yang sedang menayangkan animasi kembar botak dari negeri tetangga itu. Kakinya saling tumpu dengan mulut yang menyedot dot berukuran sedang yang berisi susu coklat. Pada sofa, duduk Damar dan Adel yang memperhatikan pola anak mereka.

"Gak buat ulah dia seharian ini ?"

Damar yang menghabiskan sebagian waktunya dikantor bertanya keseharian Asa pada sang istri.

"Seharian ini dia anteng kok Mas, kecuali sore tadi, dia teriak minta uang buat beli siomay." Jawab Adel.

"Papa, Asa ada samay. Papa mau ?" Asa bertanya tanpa melepas botol dotnya. Membuat Damar tekekeh geli.

"Mau, Asa mau bagi sama Papa ?"

Tanpa menjawab. Asa bangkit, melempar botol dotnya asal membuat Adel menahan kesal karena dot itu mengenai tulang keringnya. "Anakmu itu Mas. Bar bar banget."

"Anak Mas, anakmu juga kali Del."

Tidak lama kemudian, Asa muncul dengan mangkuk kecil berisi siomay. Menyerahkannya pada Damar kemudian naik susah payah pada pangkuan Adel. Mendapat siomay yang jarang jarang anaknya mau bagi, Damar tentu memakannya dengan santai. Biasanya saat Asa jajan sore hari, dia tidak akan menyisakan jajanannya satupun.

"Papa makan samay Asa. Papa halus bayal."

Damar yang akan menyuapkan siomay ketiga lantas berhenti begitu mendengar pernyataan anaknya. Jadi anaknya itu menjual siomaynya padanya ? Bukan memberi ? Adel hanya bisa menahan tawa gelinya. Tidak menyangka Asa akan mengatakan kalimat seperti itu.

"Loh, Asa enggak bagi siomaynya sama Papa ?" Tanya Damar bingung.

Asa menatap sang ayah dengan mata bulatnya. "Asa bagi samaynya. Itu Papa makan, itu nama na Asa bagi sama Papa. Tapi Papa halus bayal, Asa beli samaynya pake duit. Telus Asa makan. Papa makan samay Asa, jadina kudu bayal pake duit tenun." Duit tenun itu uang 5.000, sesuka Asa saja menyebutnya bagaimana.

"Kan, uang yang dipakai beli siomay uangnya Papa juga." Adel yang melihat suaminya terdiam mencoba menerka kalimat putri mereka akhirnya membuka suara. Membuat Asa menatapnya dengan mulut mencibir.

"Mama kan kasih uang. Telus uangna dali tas Mama, jadina uang itu uang Mama, buka punya na Papa."

"Papa yang kasih Mama uang. Kan Papa kerja, cari uang buat beli susu sama jajan Asa."

Asa kecil menghela napas pelan, membuat Damar dan Adel mendelik. Dari mana putri mereka belajar seperti itu, seingatnya baik dirinya maupun sang suami tidak pernah menghela napas keras dihadapan Asa.

"Dari mana belajar itu ?" Tanya Damar, dia harus tahu siapa yang mengajarkan hal kurang ajar seperti itu pada anak kecilnya.

"Apa sih Papa ?"

"HAHHH. Itu, belajar dari siapa ?" Lanjut Damar bertanya, mempraktekkan cara Asa menghela napas tadi.

Mata yang tadi menatap tidak suka mendadak menjadi penuh binar. "Dali Om Agas. Katana olang besal napas napasna gitu. Asa mau jadi olang besal."

Adel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bisa dia pastikan adik iparnya itu akan mendapat omelan Damar nanti.

"Papa belum bayal samayna."

Masih itu juga. Damar mendekatkan wajahnya pada Asa, mencium dahi, kedua pipi dan berakhir pada bibir mungil sang putri. "Papa bayarnya pakai cium. Papa enggak ada uang tenun. Adanya uang merah."

Bibir Asa membulat lucu. Kemudian mengalungkan tangannya pada leher Damar yang masih berada di depannya. Berpindah duduk kepangkuan sang Ayah. "Asa endak suka uang melah. Do like, not gud gud. Endak coco beli samay."

"Don't like Asa. Bukan do like. Itu juga, bukan gud gud, tapi good." Ralat Adel gemas.

"Iya Mama."

Singkat. Pertanda anaknya mengaku kalah debat.

.
.
.

Asa itu tidak bisa tidur di malam hari jika tidak melihat wajah ayahnya. Makanya, Damar bertugas menemani sang putri tidur sembari istrinya membuatkan susu untuk sang putri.

"Asa sudah besar belum ?" Tanya Damar, tangannya mengelus kening Asa yang berbaring terlentang.

"Udah."

"Kalau sudah besar, kok masih minum susu ?"

Memutar posisinya, Asa menatap wajah tampan ayahnya. Mengelus rahang Damar dengan jemari mungilnya. "Om Agas juga minum susu kok, Papa."

Mengerutkan keningnya, Damar kembali bertanya. "Enggak kok, Om Bagas sudah tidak minum susu."

"Minum susu Papa. Om Agas bilang, pacalana punya susu, telus Om Agas minum susu pacalnya."

Anak kecil itu tidak pandai berbohong, dan mendengar jawaban itu membuat Damar benar benar ingin memukul adik bungsunya itu. Bisa bisanya mengajarkan sesuatu yang buruk pada anak kecil. "Kapan Om bilang begitu ?"

Bagi Damar semua harus jelas. Kapan dan dimana.

"Waktu Asa pi lumah na nenek."

Ck, itu berarti kejadiannya baru dua hari.

Okey, sepertinya Bagas harus diberi efek jera. Otaknya benar benar sudah rusak. Dan harus Damar pastikan bahwa Bagas tidak akan mengulanginya lagi. Kalau perlu adiknya itu harus dia larang berpacaran.

.
.
.

Lah, itu si Bagas malah ngomong yang enggak enggak sama ponakannya. Kudu di kasih pelajaran itu. Buat dia jera Mas Damar.

Pendek ????

Jangan lupa vote komennya yah.

See you next part.

Sweet Family ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang