SF : 59

32.5K 3.2K 287
                                    

Ada kelahiran, maka pasti ada kematian. Baru beberapa hari yang lalu, Damar dan keluarga besarnya menyambut kelahiran si kembar dengan penuh rasa haru juga senyuman, tapi kini, Damar tampak tidak kuasa menahan air matanya. Pun kedua orang tuanya, Ibunya sendiri kini berada di kamar. Damar tidak tahu bagaimana kondisi ibunya itu, pasalnya tadi sang ibu sempat pingsan saat mendapati kabar duka itu.

Di pojok ruangan, Asa sudah meraung dengan pakaian putihnya. Tidak ada senyuman, rengekan manja dan omelan yang keluar dari mulut mungilnya. Membuat Damar kembali meneteskan air mata karena tidak mampu untuk membuat sang putri tenang, karena dia sendiri saat ini tidak bisa menenangkan perasaannya.

"Ya Allah."

Hanya kata itu yang mampu Damar ucapkan, ini semua sangat tiba-tiba, baru kemarin mereka semua tersenyum hangat menanti kelahiran si kembar.

"HUAAAAAAAA, MAU MAMAKU. MAMAKU."

Mencoba mendekati sang putri, tangan Damar bergetar saat mencoba meraih tubuh berisi Asa dalam pelukannya. Tampak bocah itu sudah tidak memiliki kemampuan untuk memberontak seperti beberapa saat lalu, napasnya bahkan tak beraturan karena terlalu lama menangis dan meraung sedih.

"Sudah ya, nanti ketemu sama Mama."

"Mau sekalang, mo Mamaku sekalang, endak mo nati-nati Papa."

Damar hanya mampu memeluk sang putri dengan erat, tanpa berniat memberi kalimat penenang. Karena dia tahu, apapun yang akan dia katakan tidak akan mampu membuat sang putri tenang. Putrinya sudah cukup besar untuk mengerti apa itu kehilangan.

.
.
.

"Mama."

"Udah jangan nangis, nanti Kakek sedih loh kalau Asa nangis terus."

"Kakek endak sini lagi? Endak main sama Asa lagi?"

Saat mengatakan itu, mata Asa tampak bersiap untuk meneteskan air matanya. Membayangkan kakek buyutnya tidak lagi bersamanya membuat sesuatu terasa tidak nyaman.

"Kakek pegi sana jauh, semana pegi sana. Kakek dalam tanah tok, sana endak ada lampu, endak ada makan. Anti talo lapal bamana?"

"Yang sabar, jangan nangis lagi. Nanti kakek ikut sedih kalau Asa sedih."

Mengamati percakapan anak ibu itu melalui salah satu aplikasi di ponsel, Damar tersenyum sendu. Kembali mengenang kejadian beberapa hari lalu, tepat saat anak kembarnya baru berusia beberapa hari tiba-tiba sanak keluarga di Malang mengabari bahwa kakeknya sudah tiada.

Kebahagiaan atas kelahiran kedua putranya secepat berganti menjadi kesedihan. Ditambah dia harus meninggalkan anak istrinya di Batu dan hanya membawa si Sulung, itupun Asa tampak rewel, apalagi saat tubuh sang kakek di masukkan dalam liang lahat. Asa sudah menangis keras dan memanggil nama kakek buyutnya itu.

"Adek tidul?"

Asa bertanya seraya bersandar manja pada dada sang ayah. Adel sendiri tampak mengulas senyum tipis dan mengarahkan ponselnya pada dua bayi lelaki yang nampak lelap dalam tidurnya.

"Mukana sana, tok endak bubah? Tok sama? Papa, muka adekna sama telus."

"Adeknya kembar."

Jawab Damar singkat, ikut memperhatikan wajah kedua jagoannya. Pipi kedua jagoannya itu tampak lebih berisi, Baskara Kavindra Abimanyu dan Bagaskara Keano Abimanyu. Bayi kembarnya, paras yang serupa, tapi sepertinya Bagas akan secerewet Asa, mengingat tangisan bayi itu teramat keras saat lahir. Lain cerita dengan Baskara, dia hanya menangis sesaat dan tampak anteng.

Lama Adel dan Asa bertukar cerita, sampai pada akhirnya Adel menemani sang putri hingga tertidur melalui telepon. Menatap wajah putrinya, si cerewet, biang rusuh dan tukang ngomel itu sanggup membuatnya rindu seharian ini.

Kini saatnya berbicara dengan suaminya, walau hanya bertatap muka dengan bantuan ponsel, Adel bisa melihat jelas wajah sembab Damar, ditambah senyum kecil yang diberikannya saat ini, Adel benar-benar ingin memeluk suaminya itu.

"Maaf gak bisa temani Mas disana."

Banyak yang ingin Adel katakan, tapi semua itu tertahan dan hanya kalimat itu yang mampu keluar dari bibirnya.

"Hm, gak papa. Anak-anak gimana? Maaf, Mas belum bisa balik besok. Gak bisa bantu kamu ngurus anak-anak, kamu pasti kerepotan."

Kondisi saat ini benar-benar tidak memungkinkan keduanya untuk bertemu, Adel yang baru saja melahirkan tentu tidak bisa bepergian jauh. Dan Damar yang masih dalam suasana berduka untuk sesaat harus menetap di Malang, di tambah kondisi sang Ibu yang nampak syok berat.

"Kata Tante Ratih, Kakek udah siap mau ke Batu, mau lihat cicit barunya. Terus pamit ke kamar, katanya mau ambil barang buat si kembar, di tunggu lama gak muncul-muncul, jadi Tante Ratih lihat ke kamar. Tapi Kakek udah gak ada."

Terlihat jelas wajah sedih Damar saat mengingat kembali kalimat Tantenya saat pemakaman selesai. Saat itu, di Batu dia juga tengah berbahagia menyambut kelahiran putra kembarnya. Apalagi Asa yang sudah berceloteh panjang karena memiliki dua adik.

Tapi kembali lagi, ada kelahiran maka pasti ada kematian, itu sudah takdir.

Dan Damar berencana untuk menginap sehari lagi, dia juga tidak bisa meninggalkan istrinya terlalu lama dengan kondisi baru melahirkan. Memang ada mertuanya di sana, tapi Adel sudah menjadi tanggung jawabnya. Damar harap keluarganya bisa mengerti dengan kondisinya saat ini.

.
.
.

Adel mengusap kening Bagas yang baru saja terlelap usai menyusu, bisa Adel lihat ada cikal bakal Asa dalam diri anaknya ini. Tukang nangis, walau bayi pada umumnya memang kerap menangis, tapi Bagas satu tingkat di atasnya, pun bayi satu ini tidak bisa diam meski sedang tidur sekalipun. Benar-benar mirip Asa.

Lain halnya dengan Baska, dia hanya menangis saat lapar saja, juga bocah itu lebih diam dari Bagas. Dan sejauh ini, perbedaan pada rupa hanya bisa Adel lihat pada hidung, hidung Baska sedikit lebih mungil jika di bandingkan dengan Bagas.

"Mimpi indah jagoan-jagoan Mama, tumbuh jadi anak sholeh dan bantu Mama Papa jagain Mbak Asa."

Perhatian Adel untuk kedua putranya teralih saat pintu kamarnya terbuka, di sana Ibunya menatapnya dengan seulas senyum.

"Ibu ganggu?"

Hj.Maulina berjalan masuk sembari membawa segelas susu. Kemudian duduk di hadapan sang putri, sampai detik ini, dia masih sulit mempercayai putri manjanya kini telah menjadi ibu dari 3 orang anak.

Adel menanggapi dengan gelengan seraya bertanya tentang kedua keponakannya.

"Luna sama Aurin baru saja tidur. Kamu kenapa gak istirahat nak? Gak baik loh tidur larut begini."

"Nanti Adel tidur kalau sudah minum susu buatan Ibu. Lagian Adel juga rindu sama Asa, tadi di telepon dia malah mewek."

Hj.Maulina tersenyum maklum, tadi saja dia di abaikan oleh cucunya itu, Asa terus menangis dan selalu berada di sisi jasad kakek buyutnya.

"Anakmu sedekat itu sama Pak Panji, Del?"

"Gak juga sih Bu, tapi sama kakek, Asa itu di manjain. Sama kayak perlakuan Bapak sama Ibu."

Adel tidak terlalu dekat dengan kakek suaminya itu, tapi dalam setiap kesempatan, almarhum kakeknya itu selalu hangat dan ramah.

"Ibu tahu kamu sedih, tapi saat ini kamu tidak boleh terlalu larut dengan kesedihan kamu. Ingat anak-anak sama suamimu, ingat juga sama diri kamu sendiri."

Sebuah usapan pada kepalanya membut Adel tersenyum, ibunya benar, dia tidak boleh larut dengan kesedihan dan rasa bersalahnya karena tak sempat hadir. Ada anak yang harus dia susui juga suaminya yang harus dia hibur. Adel yakin, dibandingkan dirinya, Damar lebih merasa kehilangan.



.
.
.
.
.
.

Hayyyyo balik lagi setelah bersemedi dengan pekerjaan yang cukup melelahkan.

Siapa yang ngira si Mamanya Asa meninggal??

Gak bakal kok, kasihan si Damar nanti.

Maaf untuk typonya yah, silahkan di koreksi kalau nemu typo. Jangan lupa kritik sarannya.

See Uuuu

Sweet Family ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang